Tak terasa kita sudah tiba di hari kamis. Sebentar lagi akhir pekan dong ya. Ada yang sudah punya rencana jalan-jalan di
akhir pekan? Enaknya kemana yaaa….
Ada banyak pilihan aktivitas di akhir pekan. Wisata, nonton, ke toko buku bisa jadi pilihan. Untuk genre film, sudah kita bahas 2 hari
yang lalu. Sesuai selera masing-masing
lah ya. Toko buku juga udah dong
kemarin. Nah kali ini ada satu tempat
lagi yang asik buat dikunjungi lho, yaitu pasar tradisional.
Iya. Kalian gak salah baca kok. Beneran pasar tradisional.
Apa enaknya main ke pasar?
Waaah… belum tau dia!
Berburu ikan asin di Pasar Mandonga, Kendari |
Saya, terus terang agak jarang ke pasar. Bukan karena sombong atau gimana, tapi memang
jarang ada kebutuhan belanja yang
mengharuskan ke pasar. Rumah saya agak
jauh dari pasar. Untuk belanja kebutuhan
sehari-hari seperti ikan, tahu, tempe, ayam dan aneka sayuran ada warung dekat
rumah yang menjual semuanya lengkap. Buka
setiap hari, dengan harga yang sangat terjangkau. Bahkan enaknya sayuran itu sudah dipaket-paketin,
sayur asem, capcay, lodeh, pecel dll.
Jadi kita tinggal ambil berapa bungkus sesuai kebutuhan. Harganya murah, cukup merogoh kocek 4000
rupiah saja satu paket sayuran sudah bisa kita bawa pulang. Kalau untuk keluarga kecil saya yang
anggotanya hanya bertiga, porsi sayuran ini bisa buat seharian. Tinggal beli bahan lauknya saja deh. Asyik
khan?
Meski begitu, sesekali saya tetap ke pasar tradisional
kok. Biasanya untuk berbelanja kebutuhan
khusus atau dalam jumlah banyak. Saya
menyukai suasana pasar tradisional.
Hiruk pikuk pedagang dan pembeli, riuhnya tawar menawar, wajah-wajah
bahagia saat dagangan laris juga tak ketinggalan wajah penuh harap dari para
tukang pikul, anak-anak yang mencari rejeki dan seterusnya. Bertemu dengan beragam eskspresi deh pokoknya
klo ke pasar.
Saat berwisata ke suatu daerah, saya selalu menyempatkan
untuk menikmati kuliner local di pasar tradisionalnya. Ke Jogja saya mempir ke Pasar Beringharjo, ke
Palembang main ke Pasar 16 ilir, saat ke Solo saya mampir ke Pasar Klewer, ke
Bali biasanya saya sempatkan ke Pasar Badung, Pasar Kumbasari, Pasar di Tabanan
dan beberapa pasar lainnya. Kalau pulang
ke Kendari apalagi, pasti saya ke Pasar Mandonga deh, beli ikan asin dan terasi
buat dibawa pulang ke Bogor.
Terasi khas Kendari. Saat ke Pasar, jangan terkecoh ya, ini bukan coklat |
Nah, kali ini saya mau cerita pasar tradisional yang baru
saja saya kunjungi saat liburan bulan lalu.
Kebetulan kami sekeluarga berlibur ke Karanganyar, tepatnya di Dukuh
Jlono, Desa Kemuning, Kec. Ngargoyoso, Jawa Tengah. Liburan
yang sangat berkesan buat saya. Nanti
akan saya ceritakan di postingan berikutnya deh tentang desa cantik ini. Kali ini saya mau cerita tentang pasarnya
dulu.
Pasar Kemuning, begitu nama pasar ini. Dari rumah tempat kami menginap cukup
berjalan kaki saja melintasi jalan nan sejuk dengan kebun teh di kanan
kirinya. Sekalian menghangatkan badan
yang gigil karena dinginnya udara di sini.
Iya, di sini dingin banget, karena terletak di lereng Gunung Lawu.
Pasar Kemuning tidak buka setiap hari. Hari pasarannya setiap Legi dan Pon. Hayooo… ada yang bingung gak sama hari Legi
dan Pon ini?
Salah satu sudut Pasar Kemuning |
Jadi, penamaan hari ini berdasarkan konsep pawukon. Di Bali dan Jawa, penamaan hari, penentuan
hari baik untuk berbagai aktivitas, acara, ritual dan sejenisnya masih
menggunakan perhitungan hari tradisional seperti ini. Dalam kalender Bali dan Jawa, ada konsep wewaran yang digunakan untuk
menghitung hari. Ada 10 wewaran yang
dengan hitungan kombinasi tertentu akan menentukan hari-hari tertentu
juga. Nah, Pon dan Legi ini masuk
hitungan Panca Wara (Umanis/Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon
Karena hitungannya hanya 5, sementara jumlah hari dalam
satu minggu ada 7, maka hari pasaran ini bisa jatuh di hari yang berbeda-beda
setiap minggunya. Bahkan ada minggu yang
hari pasarannya 2 kali seminggu ada pula yang 3 kali seminggu tergantung
ketemunya dengan Legi dan Pon. Kami
beruntung, saat berlibur ke sana sempat bertemu dengan 2 kali hari pasar.
Baca juga : Pesan Toleransi dari Jlono Kemuning
Baca juga : Pesan Toleransi dari Jlono Kemuning
Sejak malam sudah diniatkan untuk bangun pagi, melawan
rasa malas untuk bergelung di balik kehangatan selimut. Iya, saking dinginnya udara di sana, rasanya
untuk membuka selimut di pagi hari itu beraaaat banget. Namanya juga liburan, sesekali malas tak apa.
Haha. Tapi pagi itu beneran diniatin deh
jalan ke pasar.
Namanya pasar, pastinya ramai dong. Pedagang sayuran segar terlihat menata
dagangannya di are depan. Warung-warung juga mulai buka. Geliat kehidupan khas pasar tradisional
langsung terasa. Yang berat buat saya
adalah komunikasi. Semua orang pakai
bahasa Jawa kakaaaak. Haduh, saya sih
ngerti kalau dengerin orang ngomong, tapi lidahnya belibet klo harus ikutan
ngomong. Mendadak lemot deh pokoknya.
Untung kami ditemani teman saya, yang rumahnya kami inapi
selama di sana. Jadi ya dialah yang jadi penyambung lidah kami. Tak ketinggalan saat pasar begini, cobalah kuliner setempat.
Rasakan sensasi makanan baru dengan citarasanya yang unik. Waktu itu selain belanja kebutuhan dapur,
kami juga membeli sarapan. Ada pecel
dengan sambal tumpang (sambal yang terbuat dari tempe bosok), bubur candil dan
kelengkapannya, jadah tempe dan beberapa penganan lainnya. Yang bikin saya terpana, harganya muraaaah
banget. Setiap porsi makanan tadi hanya
3000 rupiah saja. Porsinya pas dan
mengenyangkan lho. Harga gorengannya 500 perak.
Oh em ji, langsung berasa tajir
saya belanja di sini hahahahaha
Karena buka hanya di hari tertentu, pasar ini cukup ramai
saat hari pasaran. Sepertinya warga sekitar tumplek blek
berbelanja deh. Apalagi kalau pas hari
Pon, baru akan ketemu pasar lagi 3 hari kemudian. Jadi ya beberapa orang berbelanja agak banyak
untuk stock bahan makanan.
Menurut info, karena meningkatnya kunjungan wisata ke
Kemuning akhir-akhir ini, Pasar kemuning akan direnovasi dan ditata lagi agar
lebih rapi dan nyaman untuk pengunjung. Kemuning
memang punya banyak potensi wisata.
Lokasinya juga strategis, dekat dengan terminal Ngargoyoso. Potensi wisata di Desa Kemuning juga sangat
banyak. Mulai dari Kebun Teh yang
terhampar hijau sejauh mata memandang, river tubing Kali Pucung, fasilitas
outbond dan wisata-wisata alam lainnya.
Saat menuliskan ini, ada rasa hangat di dada. Seolah ada yang memanggil-manggil untuk
kembali. Menikmati keramahan
penduduknya, menyesap kesegaran udaranya, bercumbu dengan dinginnya air pegunungan dan pastinya menikmati kulinernya
yang menggoda dan membelai lidah.
Kemuning, tunggu kami kembali ke sana ya.
Salam
Arni
wah jadi kalo ada tempat makan, langsung beli banyak buat nyetok ya.. hebattt
ReplyDelete