Sebagai
orang tua dengan anak yang bertumbuh dari hari ke hari, terkadang membaca dan
mendengar berita tentang kejadian di luar sana terasa ngeri, merinding dan
kadang mengenaskan. Terutama tentang
perkembangan perilaku seksual anak-anak.
Kids jaman now, begitu media sosial menyebutnya.
Pergaulan
yang terasa makin bebas. Suguhan adegan
seksual tak senonoh yang begitu mudah diakses, hanya dari sebuah layar kecil
dalam genggaman, membuat pengawasan terasa lebih berat. Belum lagi ditambah kontrol sosial yang
terasa makin longgar, dimana lingkungan
sekitar makin tak peduli dan menjadi egois. “Ah,
bukan anak gue ini!” atau “Gak
kenal. Bodo amat!”
Yang paling
ramai dan jadi viral akhir-akhir ini adalah issue LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Pastinya tak ada orang tua yang ingin anaknya
menjadi salah satu dari mereka.
Boro-boro pengen, bayangin aja udah bikin merinding disko. Makanya, selagi bisa dicegah mari usahakan
bersama-sama.
Prema, putra
saya, memang masih kecil. Maret nanti
baru akan 8 tahun usianya. Tapi sebisa
mungkin sejak dini, kami berusaha menanamkan nilai-nilai pengenalan diri, organ
tubuh dan batasan-batasannya. Selain
untuk melindungi diri sendiri, juga untuk kenyamanan dalam interaksi dengan
orang lain, baik dengan sesama anak-anak maupun orang dewasa di sekitarnya.
Mengenal Organ Vital Pribadi
Sejak Prema
masih bayi, saya sudah menyebut organ vitalnya dengan sebutan yang sebenarnya.
Penis. Ya, saya menuliskan tanpa diberi bintang-bintang. Ini bukan sesuatu yang tabu kok. Bukan juga masuk kategiri tak senonoh. Dalam buku-buku ilmiah, alat vital laki-laki ya penis, alat vital
perempuan namanya vagina. Gak perlu
diberi kata ganti burung, duren, monas atau yang lainnya.
Kenapa? Ya supaya anak tahu nama yang benar.
Coba deh
bayangin, anak yang sejak kecil mengenal alat vitalnya dengan nama burung. Lalu begitu masuk TK, oleh guru kelasnya
diminta menggambar burung. Apa jadinya
kalau dia kemudian menggambar……………….. PENIS?
Oh oke. Imajinasi saya mungkin kejauhan. Tapi bisa jadi seperti itu khan.
Pun untuk
anak perempuan. Saya memang tak punya
anak perempuan. Belum punya ding. Siapa tahu kelak debieri kepercayaan. Tapi para untuk para keponakan, saya biasakan
menyebut vagina untuk organ vitalnya plus payudara untuk organ bagian dadanya. Bukan toket, tetek atau sejenisnya. Dan lagi, gak pakai bintang-bintanglah saya
nulisnya ya.
Satu lagi,
bagian belakang. Pantat/bokong. Saya sampaikan ke Prema bahwa itu juga
termasuk organ vital. Penyebutan ini,
juga dilengkapi dengan penjelasan dong, bahwa organ vital laki-laki dan
perempuan itu berbeda. Cara ‘penggunaannya’pun
berbeda. Dan harus dijaga dari sentuhan
orang-orang tak bertanggung jawab.
Selain
bagian bawah, wajah juga adalah area pribadi yang harus dikenali anak. Sambil bernyanyi kita bisa mengajak mereka
mengenali mata, hidung, bibir, pipi, kuping dan seterusnya berikut fungsinya
masing-masing.
Buat apa? Ya
agar anak mengenali anggota tubuh dan dirinya sendiri.
Beritahu Batasan-batasannya
“Penisnya Prema ini hanya boleh
dipegang dan dibersihkan sama Prema, Ayah, Ibu atau keluarga dekat yang Ibu dan
Ayah tau ya,”
Berkali-kali
saya mengingatkan Prema akan hal ini.
Pun demikian ketika membersihkan anus selepas BAB dan seterusnya. Saya ingin sejak dini dia tahu bahwa ada
batasan untuk area pribadi ini. Tak
boleh sembarang orang menyentuh, meski dengan alasan membantu membersihkannya.
“Prema maunya mandi bareng Ibu!”
Dulu saat
berusia sekitar 4 tahun, Prema sering sekali merengek untuk mandi bareng saya. Mandi bareng yang benar-benar bersama, dalam
arti saya mandi Prema juga mandi.
“Prema sekarang udah gede dan Prema
anak laki-laki. Jadi mulai sekarang, Ibu
udah gak boleh mandi bareng dengan Prema.
Karena Ibu perempuan. Anak
laki-laki bolehnya mandi sama laki-laki, jadi Prema mandi barengnya sama Ayah,”
Saya mencoba memberi
pengertian
“Tapi Prema maunya sama Ibu!”
“Iya, boleh sama Ibu. Dimandiin aja
ya. Ibu gak ikut mandi. Ibu gak boleh buka baju bareng-bareng sama
Prema,”
Percakapan
ini berulang hampir setiap hari di rumah kami.
Sampai akhirnya Prema mengerti bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Ada batasan yang sebaiknya
tak dilanggar.
“Tapi kalau di kolam renang kok
boleh. Di pantai juga. Mandinya semua bareng-bareng?” Saat usianya bertambah, pertanyaan
kritisnya juga bertambah
“Lho, kalau di kolam renang khan pada
pakai baju renang. Di Pantai juga, semua
pakai baju. Jadi gak apa-apa mandi
bareng. Gak ada yang telanjang to.”
“Oh iya ya. Ibu benar juga.”
Pun demikian
saat saya akan berganti pakaian di kamar.
Saya akan meminta Prema untuk keluar dari kamar. Awalnya dia protes, tapi lama-lama dia
mengerti kok. Sampai akhirnya, tanpa
diminta, setiap saya bersiap untuk berganti pakaian, dengan sendirinya Prema
akan menunggu di luar kamar.
Di lain
waktu, Prema pulang sekolah dan bercerita bahwa saat di sekolah ada teman
lelakinya menyingkap rok anak perempuan.
“Trus Prema ikutan juga?”
tanya saya
“Ndak bu. Tapi semua teman-temannya Prema tertawa. Prema juga ikut tertawa.” Jawabnya jujur
Oh oke. Saatnya menjelaskan batas-batas etika
pergaulan anak laki-laki dan perempuan.
Bahwa tak boleh sebebas itu bersikap pada anak perempuan. Keesokan harinya, saya menemui wali kelas
Prema untuk menceritakan kejadian ini. Karena Prema bilang saat kejadian
itu, gurunya sedang tak ada di
kelas. Saya coba bicarakan hal ini
baik-baik dan meminta gurunya agar lebih perhatian dan mengingatkan anak-anak
soal etika pergaulan ini. Syukurlah wali
kelasnya mengerti.
Tak sulit
sebenarnya mengajarkan batasan ini pada anak, yang dibutuhkan hanya sikap yang
konsisten dari kedua orang tua. Agar
anak tak bingung dan akhirnya bisa mengerti.
Tunjukkan Bahwa Hubungan Terjalin Antar Lawan Jenis
“Ibu, nanti Prema menikah dengan
siapa?” Suatu hari
Prema tiba-tiba bertanya seperti itu.
Jangan
langsung panik atau marah atau malah mentertawainya. Saya pernah mendengar ada orang tua yang
merespon pertanyaan serupa dengan jawaban, “Yaelah
masih jauh. Udahlah anak kecil tau apa
sih. Ketuaan Lu!”
Huft. Saya tak bilang jawaban itu salah sih. Tapi saat Prema bertanya yang sama, saya
pikir ini kesempatan bagus untuk mengenalkan konsep bahwa manusia itu
berpasang-pasangan dengan lawan jenis.
Jadi saya katakan,
“Ibu gak tau nanti sama siapa, tapi yang
pasti dengan perempuan. Prema nanti akan
kenal dia, sayang dia seperti Prema sayang sama Ibu. Nanti Prema juga akan menikah seperti Ayah
sama Ibu.”
“Oh begitu,”
Prema manggut-manggut. Lalu lanjut main yang lain. Saya tidak tahu apakah dia benar-benar
mengerti apa yang saya sampaikan. Tapi
setidaknya saya sudah memberi pemahaman padanya sejak dini, bahwa laki-laki
berpasangan dengan perempuan. Di rumah,
kami tentu saja menunjukkan konsep Ayah laki-laki dan Ibu perempuan
kepadanya. Mungkin akan berbeda untuk
kawan-kawan single parent, tapi saya yakin setiap orang tua punya cara untuk
memberi pendidikan seks sejak dini pada anak-anaknya.
Baca juga : Ibu, Nanti Aku Menikah dengan Siapa?
Baca juga : Ibu, Nanti Aku Menikah dengan Siapa?
Tumbuhkan Cinta Dalam Keluarga
Apaan sih,
sama anak kok ngomongin cinta-cintaan?
No, bukan
cinta-cintaan lawan jenis yang saya maksud.
Dalam kasus LGBT, saya pernah membaca bahwa ada yang menjadi LGBT karena
kekecewaan terhadap satu pihak, yang terjadi dalam lingkungan keluarga. Sehingga bisa jadi, pelarian ke sesama jenis
atau justru menjadi penyaluran dendam.
Yang pasti semua ada alasannya.
Keluarga
yang didalamnya penuh cinta Ayah dan Ibu memberi contoh baik untuk anak-anak. Saya tak
bermaksud mengatakan Ayah/Ibu tunggal lantas memberi contoh tak baik lho
ya. Karena cinta bisa dihadirkan oleh
Ayah dan Ibu, Ayah saja atau bahkan Ibu saja.
Intinya anak-anak yang tumbuh dengan cinta dan perhatian keluarga, akan
melihat cinta sebagai sesuatu yang
membahagiakan dan menyenangkan. Contoh
kebahagiaan dalam keluarga kelak akan membentuk kepribadian anak di masa depan,
termasuk dalam orientasi seksualnya.
Oke. Ini mungkin memang bukan satu-satunya
faktor. Tapi setidaknya, dengan
menumbuhkan cinta dalam keluarga kita telah berusaha memberikan yang terbaik
untuk tumbuh kembang anak-anak kita.
Karena
sesungguhnya menjadi orang tua adalah fase baru memasuki sekolah kehidupan. Belajar memupuk cinta, mendidik anak,
menyelaraskan langkah dan kebersamaan.
Termasuk didalamnya pendidikan seks sejak dini untuk kebaikan di masa
depan.
Ayah Ibu,
pendidikan seks apalagi yan bisa kita ajarkan pada anak-anak sejak dini? Share
ya
Tulisan
ini merupakan bagian dari #KEBBloggingCollab dari Grup Butet Manurung dengan
trigger post di Web KEB yang ditulis oleh mbak Fiona Esmeralda
pemilik blog www.askfionamd.com berjudul
“LGBT dan Kondisi Remaja Kita”
mba arni .. saya jadi pengen nulis tentang ini juga ... btw itu yg menggambar burung saya juga kepikiran hal yg sama lho .. nah tapi saya masih kasih tau organ vital anak dg kata 'pipis'... pas baca tulisan ini baru inget kl pengenalan organ vital harus dg istilah yg sebenernya ya .. hohoho.. untung diingetin .. makasi banyak mba arni .. 😘
ReplyDeleteAyo mbak tulis
DeletePasti menarik menulis ini dari sudut pandang mbak Putri
Btw, kalau pakai kata pipis ntar dia kepikiran buat pipis melulu hehehe
Semoga pas aku bikin tulisan sejenis, ngga bareng (lagi) sama Uni Putri. 😂
DeleteMba Arni, kereeen. ❤❤
Klo aku ngajarin nama organ vital ke anakku pakai istilah dalam b.sunda, hihi. Kabar baiknya, orang-orang sekitar yang biasanya pake istilah pengganti sekarang jadi "bisa" bilang dengan istilah yang seharusnya.
Aku dulu pesannya juga sama, orang selain ayah ibu, gak boleh sentuh2 alat vital anak-anak. Semakin bertambah usia, makin banyak yang mesti kita diskusikan sama mereka, mba
ReplyDeleteNah iya mbak
DeleteMakin bertambah usia pastinya anak-anak akan makin kritis
Kita harus pinter-pinter mikirin jawaban deh
Hihi iya betul. Kita memang ga boleh menyebutkan alat vital dg nama bukan sebenarnya 😁. Wah, jadi pingin nulis ttg LGBT jga. Hehe
ReplyDeleteAyo mbak tulis juga
DeleteTopik ini selalu menarik untuk dibahas. Memang agak sensitif sih, tapi menyangkut anak2 rasanya tak ada hal tabu untuk dibahas
Halo mb Arni, salam kenal. Usia Prema sama dengan anak saya, cowok juga. Dia berkebutuhan khusus, jadi mesti pakai bahasa sepraktis mungkin.
ReplyDeleteUsia 8 ini, kalo baca2, saatnya ayah ambil peran dominan, banyak bermain dan menghabiskan dengan anak lelakinya, demi menguatkan identitas mereka. Cmiiw.
Salam kenal mbak
DeleteSenang dikunjungi mbak Esthy
Wah anak kita seumuran ya
Makasi pengingatnya mbak, Prema juga sekarang lagi seneng2nya apa2 sama Ayah. Kalau udah weekend pokoknya melakukan apapun maunya sama Ayah. Semoga dia mendapat teladan yang baik
Begitu pula dengan putra mbak Esthy
Mbak arni mamah keren deh.
ReplyDeleteSaya sempet berangan-angan kalo punya anak cowok gimana ya entar?! Hehe baca ini jadi punya gambaran.
Sekarang sih anak saya masih cewek, baru 4 th tapi sudah tinggal di daycare tiap pagi sampe sore yang notabene campur. Jadi sudah saya sounding masalah mandi, pipis bolehnya sama perempuan. Ah emang jaman sekarang serem banget.
Halo mbak. Suka sharingnya. Saya juga setuju sih kalau anak2 harus dikenalkan dengan nama organ vitalnya dengan benar :) dan suka baca penjelasan mbak Arni ke putranya kenapa dia gak boleh mandi dengan ibunya dll. :) Salam kenal.
ReplyDeletePengenalan soal organ vital kepada anak memang penting ya mba. Tapi aku juga biasa lakukan pengenalan mana bagian tubuh yang boleh dipegang dan mana yang tidak boleh oleh orang lain.
ReplyDeleteAku nih mba yg termasuk mengenalkan organ rep pd anak2 dg nama sebutan kami.
ReplyDeleteKmrn ikut kelasnya mba Fiona, saya merasa pumya hutang utk mulai meluruskan semua.
Better late than never yaa
Saya sedang mulai mengenalkan nama yang benar pada anak perempuan saya Mbak. Karena di sekolah gurunya menyebutnya bukan vagina, tapi bakpau. Duh, kayak gitu bukannya bahaya banget yak. Hufft
ReplyDeleteSuka banget nich dengan tulisannya Mbak. Soalnya saya punya dua anak, laki dan perempuan yang sama-sama dengan ingin mengerti apapun. Nah, hal-hal seperti yang diceritakan di atas, sebetulnya harus sudah ditanamkan sejak kecil. Bukan ngarang bebas mengganti nama alat vital dengan sebutan lain ya, ini pembohongan juga untuk anak. Sejauh ini, saya baru memberikan arahan, bahwa dada, pantat, bagian ini enggak boleh dipegang oleh orang lain, hanya dokter apabila sedang memeriksa boleh. Trus saya juga nitip ke anak-anak, kalau bagian yang ditunjuk tadi dipegang orang, bilang ke ummi ya.
ReplyDeleteIni yg ngeri, kalau kemaluan anak dinamakan burung lalu pas disuruh bikin burung sama guru, dia malahbikin gambar kemaluan, ohh no... Tapi sampai saat ini belum ada kabar begitu sepertinya hehe.
ReplyDeletePenting pengenalan pendidikan seks sejak dini (sesuai dengan umurnya).
ReplyDeleteAku juga menganggap pengenalan pendidikan seks penting juga untuk anak2, asal sesuai dengan tingkat pemahamannya.
ReplyDeleteWaah makasih, ini bermanfaat banget mba. Cara-cara menjawab anaknya. Walau anak gw perempuan, tapi sepertinya tekniknya ya kayak gitu ya. Asyik, bermanfaat dan thx yaaa
ReplyDeleteSaat single, aku membayangkan pergaulan di masa depan yg mungkin akan semakin menjadi-jadi. Apa kabar keturunan aku nanti?
ReplyDeletePendidikan sex itu memang harus jelas sejelasnya jelasnya ya mbak
Iya bener banget ini, mesti sedari dini mungkin anak bisa jaga diri, tau ilmunya, karena kita gak bisa kontrol lingkungan. Semoga Prema dan anak-anak lainnya bisa terlindungi! :D
ReplyDeleteZamannya beda, pengajarannya beda ya mba..hrs bner2 bukan pake istilah yg lain
ReplyDeleteSetuju mba, pendidikan mengenai organ tubuh dan reproduksi sebaiknya dimulai dari rumah
ReplyDeleteSex education ini penting banget ditanamkan sejak kecil. ANak2ku jg skrng kalau pintu kebuka pas ganti baju teriak2 malu katanya.
ReplyDeleteSepakat banget untuk mengatakan alat kelamin dengan nama sebenarnya tanpa istilah buatan hehehe..makasih tipsnya mbak.
ReplyDeleteMakasih Mbak sharingnya, kami juga mengenalkan alat kelamin pada Aiman dengan menyebut nama sebenarnya.
ReplyDeleteSemoga anak-anak kita selalu dijaga dari pengaruh negatif dari LGBT ya Mbak, aamiin.
Prema kereenn, Mamaknya lebih keren lagi ihh menjelaskan ini ke Prema. Duuh, deeg banget dii Kak klo pas ditanya gitu ma Anak.
ReplyDeletethanks ya Kak, dapat ilmu lagi ini :*