Huft, lama banget libur nulisnya nih. Maklumlah emak-emak suka (sok) sibuk. Sampai ketika saya dibangunkan dari tidur
panjang oleh Be Molulo, grup blogger Sultra yang mengingatkan ada tema bulanan yang harus ditanggapi, tentang mengelola
keuangan keluarga.
Err… sebenarnya saya sudah pernah menulis tema ini beberapa
waktu yang lalu sih. Seputar tips hemat
ala saya agar bisa tetap senyum manis hingga akhir bulan kala membuka dompet
setiap pagi. Jadi ya, agak bingung juga
sih ketika harus menulis lagi dengan tema yang sama. Tapi baiklah, mari kita coba. Jangan menyerah
kalau kata D’Massiv
Ibu adalah menteri keuangan dalam keluarga. Sudah sering kita mendengar kalimat itu. Ya, karena memang pada sebagian besar rumah
tangga menyerahkan pengelolaan keuangan pada Ibu. Meski begitu, sesungguhnya saya juga bukan
pengelola keuangan yang baik. Masih
banyak bocornya disana sini. Kalau
bocornya langsung kelihatan sih enak, tinggal ditambal. Tapi kalau udah bocor
halus, wah berat urusannya, kudu teliti nyari sumber kebocorannya biar bisa
dioles aquaproof *bukan iklan*
Berpenghasilan sendiri atau tidak, seorang istri pasti akan
tetap menerima pemasukan dari suami.
Jadi ya memang harus pinter-pinter mengelolanya karena yang namanya
pengeluaran serasa seperti bayangan, ikut terus kemana saja kita pergi.
“Seringkali masalahnya terletak bukan pada penghasilan yang kurang, tapi pada kebiasaan yang salah dalam mengelola keuangan”
Ligwina Hananto
Nah, pakar keuangan aja bilang begitu khan. Buat menghindari bocor-bocor seperti yang
saya sebutkan tadi, ini dia beberapa tips mengelola keuangan keluarga ala
saya. Melengkapi tulisan sebelumnya ya.
Baca juga : Tips Hemat Ala Emak Cihuy
Mengelompokkan Pengeluaran
Dulu awal-awal nikah, saya rajin lho memisahkan setiap
pengeluaran rutin dalam amplop-amplop khusus.
Mencatatnya lalu melakukan evaluasi di akhir bulan. Seiring waktu, malas mendera dan akhirnya
kebiasaan mengamplopkan ini tak saya teruskan.
Ceritanya udah hafal sama pos-posnya gitu deh. Meski begitu,
tetap saja semua pengeluaran rutin harus dituntaskan di awal bulan.
Begitu terima gaji, langsung digunakan untuk
membayar semua kewajiban terlebih dahulu.
Listrik, air, TV Kabel, SPP sekolah Prema, arisan ini itu, iuran warga,
asuransi dan seterusnya. Ini harus
benar-benar tuntas di awal bulan.
Setelah itu baru kemudian menghitung kebutuhan belanja rumah tangga dan
tabungan atau rencana-rencana lainnya.
Memisahkan Rekening Kebutuhan Keluarga dan Tabungan
Sejak awal menikah, kami sudah sepakat tentang rekening
khusus ini. Jadi, kami memang punya satu
rekening khusus untuk tabungan, yang wajib diisi setiap bulan dengan nominal
yang sudah ditentukan. Sewaktu saya
masih bekerja dan berpenghasilan tetap,
rekening khusus ini kami isi dari menyisihkan sebagian gaji suami dan sebagian
gaji saya. Kalau sekarang sih, full dari gaji suami. Dan ini benar-benar butuh komitmen. Artinya ketika sudah menetapkan nominal
tertentu yang akan ditabung setiap bulan, maka lakukan. Sisanya baru buat kebutuhan sehari-hari. Jadi ya memang harus disiplin mengatur pola
hidup biar gak bocor.
Pernah bocor gak?
Pernah dong *bocor kok
bangga?* Haha. Ya ya, kami juga
bukan keluarga sempurna yang super disiplin sih. Beberapa kali pernah kok bocor. Pas di penghujung bulan, kok yo ternyata uang
hariannya habis. Terpaksa deh ambil dari
tabungan. Kalau sudah begini, biasanya
evaluasi dulu. Apakah kebocorannya
karena kebutuhan atau keinginan (ini udah pernah saya bahas di tulisan
sebelumnya ya). Kalau memang karena
kebutuhan yang sangat mendesak, oke, dimaklumi.
Tapi kalau ternyata bocornya karena keinginan yang sebenarnya tak
terlalu penting, maka biasanya di awal bulan berikutnya jumlah yang terpakai
itu wajib diganti dengan menambahkan nominal yang wajib masuk ke rekening
tabungan.
Tabungan ini tak harus berbentuk tunai aja sih. Bisa juga lewat investasi berupa barang dan
sejenisnya. Misalnya menabung logam
mulia, perhiasan, tanah dan lain-lain. Tabungan ini khan buat masa depan. Buat pendidikan anak, buat hari tua dan
segala yang akan datang.
Sadis ya? Gak juga kok.
Pas dijalani, happy-happy aja, Mak.
Merencanakan Liburan
Lha ini gimana to, bahas mengelola keuangan kok malah
larinya ke liburan?
Hehe tenaaang. Masih ada hubungannya deh. Kita khan juga butuh refreshing ya. Memberi makan jiwa kalau saya bilang. Setiap hari sibuk sama rutinitas
kerjaan. Rumah, kantor, jalanan macet
dan segala derivasinya pasti bikin penat deh.
Karena itu kita butuh liburan.
Budget ketat bukan berarti gak bisa liburan lho. Gak harus yang jauh-jauh dengan biaya
selangit kok. Cukup ke taman kota saja,
bersama keluarga tercinta atau sahabat rasanya sudah bisa bikin relaks. Tapi kalau memang pengen liburan yang butuh
biaya lumayan, ya memang harus menyisihkan dana liburan. Biar gak manyun pas pulang liburan ternyata
tagihan kartu kredit membengkak atau saldo rekening menipis.
Saran saya sih, buat satu rekening khusus
untuk tabungan liburan. Kalau males
kebanyakan rekening, boleh aja sih digabung sama rekening tabungan/kebutuhan
sehari-hari, tapi ya hati-hati, rentan bocor.
Alih-alih liburan, yang ada malah nombok.
Liburan yuuuuuk....! |
Selain bepergian, sesekali makan di luar bareng keluarga
juga butuh biaya. Kalau saya sih, ambil
dari budget kebutuhan sehari-hari.
Karena hitungannya khan makan rutin.
Kalau ternyata kepakenya lumayan banyak, ya artinya yang makan dirumah
kudu lebih irit lagi. Perbanyak 4T aja,
tahu tempe, telur dan terong huahahahaha.
Kurangi Penggunaan Kartu Kredit
Udah pada tahu dong kalau bunga kartu kredit itu sadis
mencekik. Udah pada tahu juga godaan
menggeseknya seperti bayangan yang selalu nempel sama badan. Bahkan di beberapa gerai perbelanjaan, tak jarang
yang menawarkan discount besar untuk pembelian barang dengan kartu kredit
dibanding dengan kartu debet atau membayar tunai.
Fyuuh godaannya mak bedunduuuuung.
Saya dulu punya kartu kredit. Begitu berhenti kerja, saya tutup dan
gunting. Dulu, pas masih punya, saya
berusaha untuk tak menyisakan hutang kartu kredit di akhir bulan. Kartu ini
hanya saya gesek sebagai pengganti uang tunai yang kebetulan tak cukup di
dompet atau karena memang akan dapat discount lebih gede bila berbelanja dengan
kartu kredit. Jangan memilih pembayaran
cicilan. Cukup gesek saja, lalu biasanya
pada hari yang sama saya akan langsung melakukan pelunasan sejumlah
pemakaiannya. Benar-benar hanya sebagai
pengganti uang tunai. Jadi, saya gak
kena bunga dan tetap dapat discount.
Tapi lebih baik kalau gak usah pakai kartu kredit sih. Setelah resign dan menggunting kartu 5 tahun
yang lalu, hidup saya aman tentram tanpa tagihan setiap bulan. Ada uangnya, beli. Gak ada uangnya ya jangan beli dulu. Itu sudah.
Err.. masih ada punya Pak Suami sih. Ini juga benar-benar kami control pemakaiannya. Gak bakal digesek kalau gak sangat-sangat
terpaksa. Percayalah, jauh lebih tenang
menggesek kartu debet daripada kartu kredit.
Lebih asyik menatap barang idaman yang dibeli dengan cash dibanding
mikirin tagihan tiap bulan. Apalagi
kalau barang itu masuk dalam kategori keinginan/gaya hidup. Bukan kebutuhan. Nyesek booo bayarin tiap bulannya .
Menyisihkan Dana Sosial
Yang saya maksud adalah menyisihkan sebagian penghasilan
kita untuk sosial. Memberi sumbangan
pada kegiatan-kegiatan amal, membezuk orang sakit, berbagi pada yang
membutuhkan dan sejenisnya. Percayalah,
dalam setiap sen penghasilan kita, ada hak orang lain juga didalamnya. Bisa jadi, kita hanya menerima ‘titipan’
menjadi perantara untuk memberi kebahagiaan bagi orang lain.
Teman-teman tentunya sudah sangat hafal pada nasihat-nasihat
bijak yang mengatakan bahwa berbagi tak akan membuat kita miskin. Pun sudah sangat familiar dengan kisah-kisah
keajaiban rezeki yang datang berlipat-lipat jumlahnya kala seseorang berbagi
dengan ikhlas dengan orang lain. Bahwa
matematika Tuhan jauh lebih dahsyat dari matematika manusia.
Ya ya… saya juga sering membacanya.
Memberi 5000 kemudian mendapat rezeki 500 ribu. Menyumbang 100 ribu lantas gol proyek 100
juta. Dan aneka kisah lainnya. Ini semua tampak begitu ideal. Istilahnya rezeki yang sangat tampak dan
kasat mata. Tunai. Dan sayangnya, kadang bikin orang-orang jadi ngarep. Padahal banyak lho rezeki lain yang baik
langsung maupun tidak langsung, tanpa kita sadari mungkin saja berasal dari ‘sumbangan’
itu. Misalnya kesehatan, keamanan, kenyamanan
dll.
Jadi gini. Karena
dalam penghasilan kita ada hak orang lain, maka akan selalu ada jalannya untuk
keluar. Saya menyebutnya lubang
sosial. Lubang ini, akan terus terbuka
agar bisa dilalui. Bila kita paksa
menutupnya maka suatu hari dia akan membesar, pecah dan menganga lebih lebar
dari sebelumnya yang menyebabkan pengeluaran menjadi jauh lebih besar.
Gak mau kayak gitu khan?
Karena itu, dalam mengelola keuangan keluarga, jangan lupa
sisihkan sebagian untuk ini ya #selfreminder #selftalk
Menyiapkan biaya tak terduga
Ini penting menurut saya.
Biasanya untuk isi amplop undangan, pengobatan anggota keluarga yang
sakit, sumbangan ini itu dan sejenisnya.
Sehat Bahagia Sampai Akhir Bulan
Weits… sehat bahagianya sampai akhir bulan aja nih?
Ya nggak dong ah. Ini
khan menyesuaikan dengan tema mengelola keuangan. Umumnya buat yang berpenghasilan rutin, di
awal bulan udah bernafas lega lagi khan.
Errr… kecuali kalau ternyata awal bulan tagihan hutang juga ikut
ngantri, ya ini lain cerita deh.
Intinya, dengan
melakukan perencanaan pengelolaan keuangan keluarga dengan baik, kita
akan terhindar dari kebocoran yang bikin sesak nafas. Kalau masing-masing sudah berjalan
dikoridornya, pastinya kita akan lebih nyaman dan gak pakai deg-degan memutar
otak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Yang wajib diingat jangan sampai besar
pasak daripada tiang.
Bagian terpenting lainnya adalah jujur dalam mengelola
keuangan. Ini khan kas keluarga. Ibu-ibu boleh jadi adalah menteri keuangan,
tapi sumber penghasilannya khan bapak-bapak.
Yang menikmati adalah seluruh anggota keluarga. Sebaiknya perencanaan ini dilakukan bersama,
suami dan istri. Eh tapi, dulu waktu saya masih punya gaji bulanan jaman
ngantor, saya sering juga sih belanja keperluan pribadi pakai ‘uang sendiri’. Ya sekedar beli baju, tas atau buku
gitulah. Merasa punya duit dan
penghasilan soalnya hahaha. Kalau
sekarang, mau belanja, ya ijin pak suami dulu.
Kecuali duit hasil ngeblog, yang langsung masuk rekening. Udahlah anteng-anteng aja dia disana
huahahaha *mudah-mudahan pak suami gak
baca bagian ini*
Jadi gimana teman-teman? Sudahkah mengelola keuangan
keluarga dengan baik? Share yuk
Salam
Arni
Trigger post tema ini ditulis oleh Ira Hamid dalam artikel
Mampir say...
ReplyDeletekeren say tulisannya...
bold nih... tentang ada uangnya beli..gak ada tahan dulu...
Hampir samalah ya Mak pengelolaannya. Menurutku amplopnya sekarang jadi amplop virtual yess.. Soalnya manager keuangannya udah jago.. 😁
ReplyDeleteihiiiyy, pantas bisa tembus 2000kata lebih, kereenn gini.
ReplyDeletesa ndk ragukanmi lagi lah klo Mamak Prema yg kasih tips ;)
jadi tergiur juga ini rekening utk liburan, tp huhuh PakSu bukan tipe suka liburan :/
Lengkap banget Mba Arni. Saya juga sering bocor tabungan khususnya. Ndilalahnya sejak punya kartu kredit ga pernah bocor lagi lho. Soalnya kalau uanh belanja habis ya kartu kredit ini jadi solusi, meskipun harus sangat disiplin memakainya supaya ga kebablasan dan awal bulan saat gajian langsunh diganti 😅
ReplyDeletemantap pengelolaan keuangannya keluarga Mba Arni euy *jempol*
ReplyDeletesaya juga sampai saat ini gak pake kartu kredit, sempat tergiur tapi baca tulisan ini jadi mikir lagi deh