Kamis, 28 Maret 2019 bertempat di Sahira Butik Hotel, Paledang, Bogor, kami dari WHDI (Wanita Hindu Dharma Indonesia) dan PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia) Kota Bogor bergabung dengan 100 peserta lainnya, lintas agama, mengikuti “Sosialisasi Regulasi Terkait Kerukunan Umat Beragama di Kota Bogor”
Acara yang menarik. Begitu memasuki lobby hotel, saya merasa sangat Indonesia. Senyum ramah para peserta dan panitia, saling menyapa dan berjabat tangan. Di luar identitas berupa pakaian yang dikenakan, kami semua sama sebagai warga Bogor dan rakyat Indonesia. Berkumpul bersama untuk sebuah semangat menjaga kerukunan antar umat beragama.
Dibuka dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya, dilanjutkan Mars dan Hymne Kerukunan Antar Umat Beragama. Lagu-lagu yang membangkitkan semangat nasionalisme dan kecintaan pada perdamaian di tanah air. Yang mau denger lagunya, cek di instagram saya @galeriarni ya #numpangpromo hahaha
Betapa luas dan beragamnya Indonesia |
“Indonesia ini negara yang beragam suku bangsa, agama, adat istiadat, bahasa, dll. Memang sudah sejak awal terbentuknya seperti itu. Negara kita disebut Negara Kesatuan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang didalamnya mengayomi keberagaman. Sila pertama Pancasila berbunyi “KeTuhanan yang Maha Esa” bukan merujuk pada satu agama saja. Jadi mari kita jaga bersama semangat para pendiri bangsa ini dengan semangat perdamaian,” demikian disampaikan oleh Bapak DR. H. Saefudin, M.Ed. Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama, Sekjen Kementerian Agama saat memberikan sambutan sekaligus membuka acara
Bapak DR.H. Saefudin, M.Ed |
Indonesia Tanah Air Beta
Lahir dan besar di bumi pertiwi, saya mencintai negeri ini sepenuh jiwa. Saya tak pernah lupa bagaimana masa kecil saya begitu Indonesia di Kendari, Sulawesi Tenggara. Ya, meski berdarah Bali saya lahir dan besar di tanah rantau. Kebetulan (err… bukan kebetulan deh, sepertinya Tuhan sengaja menempatkan kami di sana) rumah orang tua saya berada di tengah-tengah lingkungan yang sangat bhineka. Tetangga sebelah rumah kami suku Bugis, di sebelahnya Jawa, di depan rumah kami suku Tolaki, lalu di belakang rumah ada suku Toraja, seterusnya ada Wawonii, Raha, Buton dll. Itu baru suku saja. Agama juga demikian, di lingkungan rumah kami semua agama ada. Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Lengkap banget.
Dulu, setiap hari raya salah satu agama, maka seluruh tetangga akan berbondong-bondong berkunjung. Di Kendari, kami menyebutnya masiara. Saat Idul Fitri, semua ramai-ramai berkunjung ke tetangga muslim, karena banyak biasanya hingga seminggu bahkan 2 minggu ke depan kegiatan ini masih berlangsung. Pun demikian saat natal, Nyepi dan Waisak. Saya ingat betul, setiap menjelang Nyepi, Ibu akan sibuk menyiapkan aneka kue kering, berbotol-botol minuman manis, puding, bahkan biasanya di hari pertama setelah Nyepi, kami mengadakan open house, dimana kawan dan kerabat akan datang. Tetangga, teman sekolah saya dan adik, teman kantor bapak dll. Suasana akrab dan sangat riuh. Kami bahagia.
Kerja bakti juga rutin diadakan di lingkungan kami. Saling mendoakan jika ada yang sakit, menyampaikan empati dan rasa duka jika ada yang terkena musibah dan seterusnya. Jujur, saat menuliskan dan mengenang itu semua, hati saya hangat.
Tak hanya kehidupan bertetangga. Di Sekolah juga begitu. Saat hari raya salah satu teman di kelas, biasanya serombongan kami sepulang sekolah berkunjung ke rumah si A, yang natalan, atau si B yang lebaran. Cerita lucu rebutan kue, ngumpetin kacang di kantong baju yang kemudian tumpah saat mengikat tali sepatu, dan sejenisnya menjadi bumbu kebahagiaan yang sulit untuk diungkapkan.
Setelah menikah, saya bermigrasi ke Bogor. 12 tahun yang lalu, kehidupan bertetangga kami begitu akrab. Suasananya mirip dengan masa kecil saya di Kendari. Tapi, belakangan ini keakraban itu terasa ada sekat. Atas nama perbedaan pilihan politik, agama dst. Ou, tidak semua kok. Sebagian besar masih sama. Tapi bahwa sekat itu ada, tak bisa dipungkiri.
Interreligious Literacy (Literasi Keagamaan)
Bapak H. Wawan Djunaedi, Kabid Harmonisasi Umat Beragama Pusat Kerukunan Umat beragama (PKUB) Kementerian Agama RI sebagai salah satu narasumber membuka materinya dengan pertanyaan, “Sebagai manusia, kita ini single identity atau multiple identity?"
Bapak H. Wawan Djunaedi |
Pertanyaan sederhana. Tapi membuka ruang kesadaran, bahwa diri kita bukanlah makhluk dengan satu identitas saja. Di satu waktu kita jadi anak dari orang tua, lain waktu menjadi orang tua bagi anak kita, di kesempatan lain menjadi guru, tentara, pegawai, pekerja, atlet. Kadangkala menjadi murid, kadangkala menjadi pemimpin dan seterusnya.
Ini seperti konsep Catur Warna dalam Agama Hindu yaitu empat pembagian golongan dalam kehidupan berdasarkan bakat (guna) dan pekerjaan/profesi (karma) seseorang, serta kualitas kerja yang dimiliki termasuk tingkat pendidikan, pengembangan bakat dalam diri yang dudukung oleh ketangguhan mental dalam menjalankan suatu kewajiban :
Brahmana adalah golongan fungsional dalam masyarakat yang menitikberatkan pada pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian (pemuka agama)
Ksatria adalah golongan fungsional dalam masyarakat yang menitiberatkan pada pengabdiannya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara
Waisya adalah golongan fungsional dalam masyarakat yang menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat, pengusaha, perekonomian, perindustrian dll
Sudra adalah golongan fungsional dalam masyarakat yang pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan
Seseorang bisa saja menjadi Ksatria dan Brahmana. Tergantung apa yang dikerjakannya. Saat menjadi tentara misalnya, maka dia adalah kstaria namun saat memimpin upacara keagamaan, maka dia adalah Brahmana. Begitu juga dengan warna yang lainnya.
Beberapa identitas kita adalah pemberian Tuhan. Kita terlahir dari orang tua beragama Hindu, maka kita menjadi Hindu. Begitu pula agama lainnya. Adapun ada yang berubah di kemudian hari, itu adalah pilihan. Kita juga tidak bisa memilih lahir sebagai orang beretnis Jawa, Bali, Makassar, Sunda, Cina. Tidak bisa menentukan lahir di Indonesia, Amerika atau tempat lainnya. Karena itu, selayaknya kita tidak mendahului Tuhan apalagi sampai menghujat, menyalahkan bahkan mencaci maki orang lain hanya karena kita berbeda.
Tahun 2019 adalah tahun politik. Issue agama begitu menggoda, gurih dan panas menjadi bahan pemecah belah. Orang Indonesia itu religius, saking religiusnya pembahasan agama menjadi sangat sensitif. Bahkan merambah ranah politik.
Saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Mahatma Gandi. Bapak Wawan bahkan menekankan bahwa agama dan politik memang berkaitan. Selama dikendalikan dan digunakan dengan baik, seharusnya tak perlu ada konflik. Selama agama tidak dipolitisir. Ada perbedaan mendasar antara politik agama dan politisasi agama. Silakan lihat dalam tabel berikut
“Jelas ya bedanya. Agama adalah etika yang mulia. Kalau dengan mengaku beragama lantas menggunakannya untuk memaki dan menjelekkan orang lain, itu belum beragama namanya, belum berbudaya dan belum memiliki rasa sebagai manusia,” demikian kata Pak Wawan.
Dalam satu agama saja bisa terjadi perbedaan pemahaman, tata cara beribadah maupun persepsi terhadap sesuatu. Apalagi dengan agama yang lainnya. Meski begitu, semua bisa berjalan di koridornya masing-masing selama saling menghargai dan bertoleransi.
Untuk meningkatkan toleransi ini maka yang harus ditingkatkan adalah literasi keagamaan. Indonesia darurat membaca. Darurat Literasi. Banyak sekali hoax-hoax yang begitu mudah dipercaya oleh masyarakat tanpa cross check. Bahkan kadang hanya membaca judul saja sudah langsung menyimpulkan dan terpantik emosi. Menyedihkan…
Inilah pentingnya peningkatan literasi keagamaan. Para pemuka agama, tokoh organisasi keagaaman, guru agama selayaknya bergerak bersama mendorong umat untuk lebih berhati-hati mencerna informasi yang menyinggung agama dan mengarah pada provokasi. Biasakan membaca secara lengkap, melakukan cek dan ricek kepada sumber terpercaya dan mencari tahu kondisi yang sebenarnya dari issue yang berkembang.
Mari bersama mengembangkan toleransi aktif, bukan sekedar toleransi pasif. Apa bedanya?
Toleransi pasif adalah bersikap diam, masa bodo ketika terjadi sesuatu pada agama lain di luar agama kita. “Selama dia gak ngutak ngatik agama aku, ya biarin ajalah mereka ribut!” kira-kira begitu. Terkesan toleransi sih, karena gak mau ikut campur. Tapi tanpa disadari “ketidakpedulian” seperti ini justru bisa menjadi bumerang.
Sedangkan toleransi aktif adalah bersikap aktif meluruskan hal-hal yang memicu konflik, mengusahakan perdamaian dan bergerak memberi contoh kebaikan. Tanpa harus membedakan agama. Berbuat baik tanpa sekat.
Positif Thinking
Di era digital ini, orang-orang biasanya hanya akan membaca apa yang ingin dibaca, mendengar apa yang ingin didengar dan melihat apa yang ingin dilihat. Terutama yang sesuai dengan teori dan pemahamannya. Baca setengah-setengah, hanya dari sudut pandang saja, lalu membentuk persepsi dan menarik kesimpulan seolah sudah tahu segalanya.
Inilah tanda-tanda darurat literasi.
Padahal kebenaran itu tak ada yang mutlak. Mari bersama-sama belajar melihat dan menilai sesuatu dari berbagai sudut. Satu benda yang sama, dilihat dari arah berbeda bisa menghasilkan sudut pandang berbeda pula. Satu kasus yang sama, dilihat dari persepsi yang lain akan lain pula hasilnya. Lalu mana yang benar. Relatif. Bisa jadi semua benar, semua salah. Tak perlu ngotot. Kita hanya perlu belajar melihat dari sudut pandang lain. Menempatkan diri di posisi yang berbeda atau bahkan di posisi lawan. Sekali lagi ini masalah persepsi.
Maka, selalu berpikir positiflah memandang setiap masalah.
Bapak Ade Sarmili |
Masalah persepsi ini juga yang dibahas oleh pemateri berikutnya, Bapak Ade Sarmili, Kasi Bimas Islam Kota Bogor. “Coba gambarkan pemandangan,” kata beliau sebagai tantangan pertama saat membuka materinya.
“Yang Kedua, coba gambar alat vital anda masing-masing!”
Apa yang terjadi?
Untuk tantangan pertama, sebagian besar peserta menggambar gunung, sawah, matahari dan derivasinya. Lalu untuk tantangan kedua, hanya sebagian kecil peserta yang menggambar alat vital selain kelamin. Kocak khan? Alat vital manusia itu banyak, kenapa jadinya pada mikir alat kelamin ya. Fyuuuh… untung saya menggambar mata, hidung dan bibir. Gak malu-maluin amatlah hahaha
Yes. Ini masalah persepsi. Kita akan memvsualisasikan apa yang sudah terekam dan terbentuk dalam otak. Kalau sudah terlalu mendarah daging akan susah diubah, apalagi bila tak dibarengi dengan membuka diri untuk pembaruan-pembaruan. Maka itu, membaca sangat penting. Menambah perbendaharaan pengetahuan, mencari informasi selengkap mungkin, mencoba memahami dari sisi yang lain.
Termasuk dalam hal pengetahuan agama. Tak ada salahnya membaca atau memahami tentang agama lain. Minimal membuka diri untuk menerima perbedaan, membuka hati untuk turut bahagia menyaksikan kawan yang berbeda agama menjalankan ibadahnya sebagaimana kita juga bahagia menjalankan ibadah dengan tenang dan damai juga. Dengan begitu persepsi kita tak menjadi kaku.
Jadi, mari membaca. Tingkatkan literasi keagamaan kita yang nantinya akan menjadikan persatuan dan kesatuan bangsa. Beda pilihan politik boleh saja, namun jangan sampai merenggangkan hubungan yang sudah terjalin baik. Lawan Hoax dengan Ilmu Pengetahuan dan Kebenaran.
Emak-emak kalau udah ngumpul, wajib foto-foto |
Untuk Indonesia damai
Indonesia Raya
Salam
Arni
0 comments:
Post a Comment