Sejak akhir
tahun kemarin, kami menyadari ada yang berbeda pada mata Prema. Entah kenapa, seringkali intensitas
berkedipnya terasa tak wajar, berkedip lebih sering terutama bila objek yang
dilihat tak tepat berada di hadapannya atau tak berada dalam garis lurus
pandangannya. Tiba-tiba kepalanya
menoleh, seolah menghalu bayang yang menghalang. Bersamaan dengan kedipan yang tak biasa. Kadangkala, saya juga melihat dia
mengucek-ngucek mata seolah ada yang mengganggu pandangannya.
Dengan
pertimbangan itu, kami kemudian
memutuskan membawa Prema ke dokter mata.
Menggunakan kartu BPJS, mula-mula Prema saya ajak ke Klinik yang
terdaftar sebagai fasilitas kesehatan tingkat satu di kartu kami. Dari sana, Prema mendapat rujukan ke dokter
mata.
Pemeriksaan
ke dokter matapun dilakukan. Ternyata,
Prema mengalami silindris 0,25 di kedua matanya. Menurut dokter yang memeriksa, silindris pada
level ini masih bisa disembuhkan, jadi sebaiknya dibantu dengan kacamata. Coba selama 6 bulan, setelah itu akan
diperiksa kembali.
Pantas saja,
saat belajar di Sekolahpun Prema sering agak terlambat, terutama jika posisi
duduknya berada di barisan kiri atau kanan dari arah papan tulis. Di kelas Prema, setiap minggu dilakukan
pertukaran posisi duduk. Jadi setiap
anak akan merasakan semua posisi : depan, belakang, tengah, samping kanan atau
samping kiri. Prema selalu saja pulang
paling akhir setiapkali duduk di samping kanan/kiri, karena dia belum selesai
mencatat atau menyelesaikan tugasnya.
Rupanya dia kesulitan melihat ke papan tulis.
Singkat
cerita, akhirnya Prema berkacamata.
Baca juga :
Pengalaman Menggunakan BPJS Kesehatan
Berkacamata Bukanlah Sebuah Kesalahan
Ngomong-ngomong
soal kacamata, dokter sempat mengingatkan, bisa jadi Prema sudah membawa ‘bibit
silindris’ sejak lahir. Faktor
genetis. Saya memang berkacamata. Bapak, ibu dan adik saya juga berkacamata. Maka, bisa jadi sedikit tidak ada faktor
genetis ini yang menurun ke Prema.
Jadi, saya
ini sudah berkacamata sejak 21 tahun yang lalu, sudah jadi bagian dari
rutinitas harian deh, terutama saat nonton, berhadapan dengan laptop atau
bepergian. Nah, sejak resign dari
pekerjaan rutin kantoran sekitar 5 tahun lalu, kegiatan saya lebih banyak di
rumah. Saat masak atau beberes rumah,
biasanya kacamata tak saya pakai, bukan apa-apa, rasanya kurang nyaman aja
gedebag gedebug di rumah dan berkacamata, melorot terus karena keringatan,
beruap pula bila terkena uap masakan yang baru matang. Belum lagi saat iris cabai bawang, terus benerin
kacamata, kepleset dikit dipastikan perih deh matanya. Jadilah banyak bolosnya berkacamata, padahal minus nambah
melulu. Ah, memang selalu ada alasan ya
hahaha
Ndilalah,
Prema kemudian harus berkacamata. Dokter
berpesan, wajib dipakai terus kecuali mandi dan tidur selama 6 bulan. Maka Prema bersabda, “Ibu juga harus rajin dong pakai kacamatanya. Prema mau pakai kalau ibu juga pakai!”
Makjleb.
Hmm…
baiklah. Mungkin ini cara Tuhan menegus
saya supaya rajin berkacamata. Jangan
ngeluh melulu karena minus yang semakin bertambah dan penglihatan yang makin
burem. Ya jadinya sekarang saling
mengingatkan deh untuk memakai kacamata setiap hari.
Awal-awal
berkacamata, Prema masih sering minder.
Setiap ketemu teman, guru atau orang lain selalu saja ditanya, “itu kacamata apa, minus atau mainan?”
Ou, yang itu
sih masih mendingan ya. Ada juga yang
rada-rada nyinyir bahkan menuduh.
“Memang matanya kenapa? Duh kasian ya
kecil-kecil udah pakai kacamata,”
“Pasti kebanyakan main HP ya!”
Dan
kalimat-kalimat sejenis lainnya.
Jujur saja,
yang baper bukan hanya Prema. Saya juga
kadang ikutan baper. Capek
jelasinnya. Tapi ya begitulah, selain
menata hati sendiri kami juga harus mendukung Prema agar lebih percaya diri
dengan kacamatanya. Berkali-kali saya
menguatkan dia saat mulai manyun karena pertanyaan dan pernyataan orang
lain. Berkali pula saya meyakinkan
bahwa, “tak apa-apa kok pakai
kacamata. Kegantengannya malah
bertambah,” hahahaha
Tuh.. ganteng khan ya Oom Tante? |
Sekarang
setelah berjalan hampir 2 bulan, Prema sudah lebih nyaman dan percaya diri
dengan kacamatanya. Saya juga mau gak
mau sudah lebih rajin berkacamata walaupun di rumah. Kalau dulu, dia gak mau difoto berkacamata,
sekarang malah setiap mau foto dia memastikan dirinya harus berkacamata. “Biar ganteng!” begitu katanya. Siap bos!
Klaim Kacamata Dengan BPJS Kesehatan
Seperti yang
saya tulis di awal, kami menggunakan BPJS untuk klaim kacamata ini. Jujur, awalnya saya tidak tahu kalau
kacamatanya juga ditanggung BPJS. Saya
pikir hanya biaya konsul dan administrasinya saja. Ternyata, begitu resep dikeluarkan, lalu
kembali ke loket BPJS, saya malah diberi surat pengantar untuk klaim kacamata
ke optik yang telah ditentukan.
Jadi,
bagaimana prosedur klaimnya? Yuk kita runut ya
Faskes tingkat 1
Sama seperti prosedur BPJS pada umumnya, langkah pertama yang
dilakukan adalah konsultasi/pemeriksaan di fasilitas kesehatan tingkat 1. Bisa Puskesmas, Klinik atau lembaga kesehatan
lainnya yang sudah bekerjasama dengan BPJS.
Kecuali untuk kondisi gawat darurat, bisa langsung melalui IGD di Rumah
Sakit rujukan.
Prema, dengan keluhan pada mata seperti yang saya tuliskan di
awal mendapat penanganan dokter umum di klinik yang kami kunjungi. Dari sini, kami dirujuk ke RS pilihan. Seperti biasa, kami dibebaskan memilih mau ke
RS mana. Waktu itu, saya memilih
Hermina, yang memang lokasinya terdekat dari rumah dan ada dokter matanya.
Konsultasi Dokter
Spesialis
Karena saya memilih RS Hermina, maka yang akan saya bahas
tentu saja pelayanan di RS ini.
Khususnya Hermina Bogor. Ini
adalah kali kedua saya menggunakan fasilitas BPJS, setelah setahun yang lalu
saya memanfaatkannya saat harus transfusi karena pendarahan berlebih.
Prosedurnya masih sama.
Bawa surat rujukan ke loket BPJS yang telah disediakan. Lakukan pendaftaran lalu kita akan diarahkan
menuju ke ruang dokter. Perbedaan
pelayanan hanya di tingkat ini saja kok, dalam arti loket pendaftaran pasien
BPJS dan mandiri memang dibedakan. Ini
wajar menurut saya, agar pihak RS lebih mudah mengklasifiksikan pasien dan
membuat laporan.
Dari loket, berlanjut pada antrian ke ruang dokter. Tak ada perbedaan pasien mandiri atau BPJS
disini. Semua antri berdasarkan nomor
urut kedatangan. Jadi, gak ada ya
ceritanya pasien BPJS dipanggil belakangan atau antri lebih lama.
Setelah pemeriksaan dan konsultasi, dokter memberikan resep
dan surat pengantar untuk pembuatan kacamata sesuai kebutuhan masing-masing
pasien.
Loket BPJS, Kasir dan Apotek
Berbekal
resep dan surat pengantar dari dokter, kami diarahkan kembali ke loket BPJS
tempat pendaftaran awal tadi. Karena
rekomendasi untuk Prema adalah mengenakan kacamata dan tak ada resep, maka kami
tak perlu ke apotek. Hanya perlu
menuntaskan beberapa administrasi (tanda tangan) saja di kasir. Ou untuk urusan kasir, semua diperlakukan
sama kok, baik pasien BPJS maupun mandiri, antri berdasarkan nomor antrian.
Di loket
BPJS tadi, barulah saya tahu bahwa
pembuatan kacamata juga ditanggung BPJS.
Untuk Bogor, hanya bisa diklaim di 3 lokasi yaitu :
·
Optik
apotek Kimia Farma Pusat, berlokasi di depan Kebun Raya Bogor
·
Optik
RS Karya Bakti
·
Optik
RS Salak
Dengan
pertimbangan agar tak perlu antri panjang, kami memilih optik Kimia Farma. Rupanya, ada limit tertentu untuk klaim
kacamata ini sesuai dengan kelas kartu BPJSnya yaitu :
·
Kelas
1 : Rp. 300.000,-
·
Kelas
2 : Rp. 200.000,-
·
Kelas
3 : Rp. 150.000,-
Lumayan khan
ya?
Karena Prema
masih anak-anak, belum terlalu banyak pilihan frame nya. Saat itu hanya ada warna merah, pink dan
coklat. Pink kesannya cewek banget,
sedangkan coklat jadinya malah mirip kacamata saya, kayak orang gede
jadinya. Akhirnya kami memilih
merah.
Harga
kacamata Prema waktu itu Rp. 350 ribu, frame + lensa. Kebetulan BPJS kami untuk kelas 1, saya hanya
perlu menambah Rp. 50 ribu saja jadinya.
Sedangkan untuk biaya konsultasi dan administrasi semuanya free,
ditanggung oleh BPJS.
Sejujurnya,
dua kali menggunakan fasilitas BPJS untuk perawatan, saya merasakan sekali
manfaatnya. Mungkin ada yang melihat
prosedurnya panjang atau ribet, sebenarnya tidak kok. Ya namanya kita menggunakan fasilitas yang
melibatkan lebih dari satu pihak, yaw ajar khan kalau prosedurnya agak
panjang. Ini layanan publik, kalau
prosesnya berbeda tinggal dijalani aja. Selama kita tak melanggar aturan atau
menuntut keistimewaan, saya rasa semua akan baik.
Punya pengalaman dengan BPJS? Share yuk
Biasanya kalau berobat daftar umum saja, nanti struk biayanya di klaim ke kantor suami, pakai bpjs juga sih...
ReplyDeletePencairannya juga cepat 😊
Iya mbak. Bisa juga begitu prosesnya ya. Lebih praktis
Delete