Wednesday, January 24, 2018

, , ,

Sex Education Pada Anak ; Ajari Anak Mengenali Diri dan Lingkungannya




Sebagai orang tua dengan anak yang bertumbuh dari hari ke hari, terkadang membaca dan mendengar berita tentang kejadian di luar sana terasa ngeri, merinding dan kadang mengenaskan.  Terutama tentang perkembangan perilaku seksual anak-anak.  Kids jaman now, begitu media sosial menyebutnya.


Pergaulan yang terasa makin bebas.  Suguhan adegan seksual tak senonoh yang begitu mudah diakses, hanya dari sebuah layar kecil dalam genggaman, membuat pengawasan terasa lebih berat.  Belum lagi ditambah kontrol sosial yang terasa makin longgar, dimana  lingkungan sekitar makin tak peduli dan menjadi egois. “Ah, bukan anak gue ini!” atau “Gak kenal.  Bodo amat!”

Yang paling ramai dan jadi viral akhir-akhir ini adalah issue LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender).  Pastinya tak ada orang tua yang ingin anaknya menjadi salah satu dari mereka.  Boro-boro pengen, bayangin aja udah bikin merinding disko.   Makanya, selagi bisa dicegah mari usahakan bersama-sama.


Prema, putra saya, memang masih kecil.  Maret nanti baru akan 8 tahun usianya.  Tapi sebisa mungkin sejak dini, kami berusaha menanamkan nilai-nilai pengenalan diri, organ tubuh dan batasan-batasannya.  Selain untuk melindungi diri sendiri, juga untuk kenyamanan dalam interaksi dengan orang lain, baik dengan sesama anak-anak maupun orang dewasa di sekitarnya.


Mengenal Organ Vital Pribadi



Sejak Prema masih bayi, saya sudah menyebut organ vitalnya dengan sebutan yang  sebenarnya.  Penis. Ya, saya menuliskan tanpa diberi bintang-bintang.  Ini bukan sesuatu yang tabu kok.  Bukan juga masuk kategiri tak senonoh.  Dalam buku-buku ilmiah,  alat vital laki-laki ya penis, alat vital perempuan namanya vagina.  Gak perlu diberi kata ganti burung, duren, monas atau yang lainnya. 

Kenapa? Ya supaya anak tahu nama yang benar.

Coba deh bayangin, anak yang sejak kecil mengenal alat vitalnya dengan nama burung.  Lalu begitu masuk TK, oleh guru kelasnya diminta menggambar burung.  Apa jadinya kalau dia kemudian menggambar……………….. PENIS?


Oh oke.  Imajinasi saya mungkin kejauhan.  Tapi bisa jadi seperti itu khan.


Pun untuk anak perempuan.  Saya memang tak punya anak perempuan.  Belum punya ding.  Siapa tahu kelak debieri kepercayaan.  Tapi para untuk para keponakan, saya biasakan menyebut vagina untuk organ vitalnya plus payudara untuk organ bagian dadanya.  Bukan toket, tetek atau sejenisnya.   Dan lagi, gak pakai bintang-bintanglah saya nulisnya ya.


Satu lagi, bagian belakang.  Pantat/bokong.  Saya sampaikan ke Prema bahwa itu juga termasuk organ vital.  Penyebutan ini, juga dilengkapi dengan penjelasan dong, bahwa organ vital laki-laki dan perempuan itu berbeda.  Cara ‘penggunaannya’pun berbeda.  Dan harus dijaga dari sentuhan orang-orang tak bertanggung jawab.


Selain bagian bawah, wajah juga adalah area pribadi yang harus dikenali anak.  Sambil bernyanyi kita bisa mengajak mereka mengenali mata, hidung, bibir, pipi, kuping dan seterusnya berikut fungsinya masing-masing.  


Buat apa? Ya agar anak mengenali anggota tubuh dan dirinya sendiri. 


Beritahu Batasan-batasannya



“Penisnya Prema ini hanya boleh dipegang dan dibersihkan sama Prema, Ayah, Ibu atau keluarga dekat yang Ibu dan Ayah tau ya,”


Berkali-kali saya mengingatkan Prema akan hal ini.  Pun demikian ketika membersihkan anus selepas BAB dan seterusnya.  Saya ingin sejak dini dia tahu bahwa ada batasan untuk area pribadi ini.  Tak boleh sembarang orang menyentuh, meski dengan alasan membantu membersihkannya.


Prema maunya mandi bareng Ibu!”


Dulu saat berusia sekitar 4 tahun, Prema sering sekali merengek untuk mandi bareng saya.  Mandi bareng yang benar-benar bersama, dalam arti saya mandi Prema juga mandi.


“Prema sekarang udah gede dan Prema anak laki-laki.  Jadi mulai sekarang, Ibu udah gak boleh mandi bareng dengan Prema.  Karena Ibu perempuan.  Anak laki-laki bolehnya mandi sama laki-laki, jadi Prema mandi barengnya sama Ayah,” Saya mencoba memberi pengertian


“Tapi Prema maunya sama Ibu!”


“Iya, boleh sama Ibu. Dimandiin aja ya.  Ibu gak ikut mandi.  Ibu gak boleh buka baju bareng-bareng sama Prema,” 


Percakapan ini berulang hampir setiap hari di rumah kami.  Sampai akhirnya Prema mengerti bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.  Ada batasan yang sebaiknya tak dilanggar.


“Tapi kalau di kolam renang kok boleh.  Di pantai juga.  Mandinya semua bareng-bareng?” Saat usianya bertambah, pertanyaan kritisnya juga bertambah


“Lho, kalau di kolam renang khan pada pakai baju renang.  Di Pantai juga, semua pakai baju.  Jadi gak apa-apa mandi bareng.  Gak ada yang telanjang to.”


“Oh iya ya. Ibu benar juga.”


Pun demikian saat saya akan berganti pakaian di kamar.  Saya akan meminta Prema untuk keluar dari kamar.  Awalnya dia protes, tapi lama-lama dia mengerti kok.  Sampai akhirnya, tanpa diminta, setiap saya bersiap untuk berganti pakaian, dengan sendirinya Prema akan menunggu di luar kamar.


Di lain waktu, Prema pulang sekolah dan bercerita bahwa saat di sekolah ada teman lelakinya menyingkap rok anak perempuan.  “Trus Prema ikutan juga?” tanya saya


“Ndak bu.  Tapi semua teman-temannya Prema tertawa.  Prema juga ikut tertawa.” Jawabnya jujur


Oh oke.  Saatnya menjelaskan batas-batas etika pergaulan anak laki-laki dan perempuan.  Bahwa tak boleh sebebas itu bersikap pada anak perempuan.  Keesokan harinya, saya menemui wali kelas Prema untuk menceritakan kejadian ini. Karena Prema bilang saat kejadian itu,  gurunya sedang tak ada di kelas.  Saya coba bicarakan hal ini baik-baik dan meminta gurunya agar lebih perhatian dan mengingatkan anak-anak soal etika pergaulan ini.  Syukurlah wali kelasnya mengerti.  


Tak sulit sebenarnya mengajarkan batasan ini pada anak, yang dibutuhkan hanya sikap yang konsisten dari kedua orang tua.  Agar anak tak bingung dan akhirnya bisa mengerti.


Tunjukkan Bahwa Hubungan Terjalin Antar Lawan Jenis



“Ibu, nanti Prema menikah dengan siapa?” Suatu hari Prema tiba-tiba bertanya seperti itu.


Jangan langsung panik atau marah atau malah mentertawainya.  Saya pernah mendengar ada orang tua yang merespon pertanyaan serupa dengan jawaban, “Yaelah masih jauh.  Udahlah anak kecil tau apa sih.  Ketuaan Lu!”


Huft.  Saya tak bilang jawaban itu salah sih.  Tapi saat Prema bertanya yang sama, saya pikir ini kesempatan bagus untuk mengenalkan konsep bahwa manusia itu berpasang-pasangan dengan lawan jenis.  


Jadi saya katakan, “Ibu gak tau nanti sama siapa, tapi yang pasti dengan perempuan.  Prema nanti akan kenal dia, sayang dia seperti Prema sayang sama Ibu.  Nanti Prema juga akan menikah seperti Ayah sama Ibu.”


“Oh begitu,”


Prema manggut-manggut.  Lalu lanjut main yang lain.  Saya tidak tahu apakah dia benar-benar mengerti apa yang saya sampaikan.  Tapi setidaknya saya sudah memberi pemahaman padanya sejak dini, bahwa laki-laki berpasangan dengan perempuan.  Di rumah, kami tentu saja menunjukkan konsep Ayah laki-laki dan Ibu perempuan kepadanya.  Mungkin akan berbeda untuk kawan-kawan single parent, tapi saya yakin setiap orang tua punya cara untuk memberi pendidikan seks sejak dini pada anak-anaknya.

Baca juga : Ibu, Nanti Aku Menikah dengan Siapa?



Tumbuhkan Cinta Dalam Keluarga



Apaan sih, sama anak kok ngomongin cinta-cintaan?


No, bukan cinta-cintaan lawan jenis yang saya maksud.  Dalam kasus LGBT, saya pernah membaca bahwa ada yang menjadi LGBT karena kekecewaan terhadap satu pihak, yang terjadi dalam lingkungan keluarga.  Sehingga bisa jadi, pelarian ke sesama jenis atau justru menjadi penyaluran dendam.  Yang pasti semua ada alasannya.


Keluarga yang didalamnya penuh cinta Ayah dan Ibu memberi contoh baik untuk anak-anak.  Saya tak  bermaksud mengatakan Ayah/Ibu tunggal lantas memberi contoh tak baik lho ya.  Karena cinta bisa dihadirkan oleh Ayah dan Ibu, Ayah saja atau bahkan Ibu saja.  Intinya anak-anak yang tumbuh dengan cinta dan perhatian keluarga, akan melihat cinta  sebagai sesuatu yang membahagiakan dan menyenangkan.   Contoh kebahagiaan dalam keluarga kelak akan membentuk kepribadian anak di masa depan, termasuk dalam orientasi seksualnya.


Oke.  Ini mungkin memang bukan satu-satunya faktor.  Tapi setidaknya, dengan menumbuhkan cinta dalam keluarga kita telah berusaha memberikan yang terbaik untuk tumbuh kembang anak-anak kita.   


Karena sesungguhnya menjadi orang tua adalah fase baru memasuki sekolah kehidupan.  Belajar memupuk cinta, mendidik anak, menyelaraskan langkah dan kebersamaan.  Termasuk didalamnya pendidikan seks sejak dini untuk kebaikan di masa depan.


Ayah Ibu, pendidikan seks apalagi yan bisa kita ajarkan pada anak-anak sejak dini? Share ya



Tulisan ini merupakan bagian dari #KEBBloggingCollab dari Grup Butet Manurung dengan trigger post di Web KEB yang ditulis oleh mbak Fiona Esmeralda pemilik blog www.askfionamd.com berjudul “LGBT dan Kondisi Remaja Kita”




27 comments:

  1. mba arni .. saya jadi pengen nulis tentang ini juga ... btw itu yg menggambar burung saya juga kepikiran hal yg sama lho .. nah tapi saya masih kasih tau organ vital anak dg kata 'pipis'... pas baca tulisan ini baru inget kl pengenalan organ vital harus dg istilah yg sebenernya ya .. hohoho.. untung diingetin .. makasi banyak mba arni .. 😘

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayo mbak tulis
      Pasti menarik menulis ini dari sudut pandang mbak Putri

      Btw, kalau pakai kata pipis ntar dia kepikiran buat pipis melulu hehehe

      Delete
    2. Semoga pas aku bikin tulisan sejenis, ngga bareng (lagi) sama Uni Putri. 😂


      Mba Arni, kereeen. ❤❤
      Klo aku ngajarin nama organ vital ke anakku pakai istilah dalam b.sunda, hihi. Kabar baiknya, orang-orang sekitar yang biasanya pake istilah pengganti sekarang jadi "bisa" bilang dengan istilah yang seharusnya.

      Delete
  2. Aku dulu pesannya juga sama, orang selain ayah ibu, gak boleh sentuh2 alat vital anak-anak. Semakin bertambah usia, makin banyak yang mesti kita diskusikan sama mereka, mba

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah iya mbak
      Makin bertambah usia pastinya anak-anak akan makin kritis
      Kita harus pinter-pinter mikirin jawaban deh

      Delete
  3. Hihi iya betul. Kita memang ga boleh menyebutkan alat vital dg nama bukan sebenarnya 😁. Wah, jadi pingin nulis ttg LGBT jga. Hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayo mbak tulis juga
      Topik ini selalu menarik untuk dibahas. Memang agak sensitif sih, tapi menyangkut anak2 rasanya tak ada hal tabu untuk dibahas

      Delete
  4. Halo mb Arni, salam kenal. Usia Prema sama dengan anak saya, cowok juga. Dia berkebutuhan khusus, jadi mesti pakai bahasa sepraktis mungkin.
    Usia 8 ini, kalo baca2, saatnya ayah ambil peran dominan, banyak bermain dan menghabiskan dengan anak lelakinya, demi menguatkan identitas mereka. Cmiiw.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal mbak
      Senang dikunjungi mbak Esthy
      Wah anak kita seumuran ya
      Makasi pengingatnya mbak, Prema juga sekarang lagi seneng2nya apa2 sama Ayah. Kalau udah weekend pokoknya melakukan apapun maunya sama Ayah. Semoga dia mendapat teladan yang baik
      Begitu pula dengan putra mbak Esthy

      Delete
  5. Mbak arni mamah keren deh.
    Saya sempet berangan-angan kalo punya anak cowok gimana ya entar?! Hehe baca ini jadi punya gambaran.
    Sekarang sih anak saya masih cewek, baru 4 th tapi sudah tinggal di daycare tiap pagi sampe sore yang notabene campur. Jadi sudah saya sounding masalah mandi, pipis bolehnya sama perempuan. Ah emang jaman sekarang serem banget.

    ReplyDelete
  6. Halo mbak. Suka sharingnya. Saya juga setuju sih kalau anak2 harus dikenalkan dengan nama organ vitalnya dengan benar :) dan suka baca penjelasan mbak Arni ke putranya kenapa dia gak boleh mandi dengan ibunya dll. :) Salam kenal.

    ReplyDelete
  7. Pengenalan soal organ vital kepada anak memang penting ya mba. Tapi aku juga biasa lakukan pengenalan mana bagian tubuh yang boleh dipegang dan mana yang tidak boleh oleh orang lain.

    ReplyDelete
  8. Aku nih mba yg termasuk mengenalkan organ rep pd anak2 dg nama sebutan kami.
    Kmrn ikut kelasnya mba Fiona, saya merasa pumya hutang utk mulai meluruskan semua.
    Better late than never yaa

    ReplyDelete
  9. Saya sedang mulai mengenalkan nama yang benar pada anak perempuan saya Mbak. Karena di sekolah gurunya menyebutnya bukan vagina, tapi bakpau. Duh, kayak gitu bukannya bahaya banget yak. Hufft

    ReplyDelete
  10. Suka banget nich dengan tulisannya Mbak. Soalnya saya punya dua anak, laki dan perempuan yang sama-sama dengan ingin mengerti apapun. Nah, hal-hal seperti yang diceritakan di atas, sebetulnya harus sudah ditanamkan sejak kecil. Bukan ngarang bebas mengganti nama alat vital dengan sebutan lain ya, ini pembohongan juga untuk anak. Sejauh ini, saya baru memberikan arahan, bahwa dada, pantat, bagian ini enggak boleh dipegang oleh orang lain, hanya dokter apabila sedang memeriksa boleh. Trus saya juga nitip ke anak-anak, kalau bagian yang ditunjuk tadi dipegang orang, bilang ke ummi ya.

    ReplyDelete
  11. Ini yg ngeri, kalau kemaluan anak dinamakan burung lalu pas disuruh bikin burung sama guru, dia malahbikin gambar kemaluan, ohh no... Tapi sampai saat ini belum ada kabar begitu sepertinya hehe.

    ReplyDelete
  12. Penting pengenalan pendidikan seks sejak dini (sesuai dengan umurnya).

    ReplyDelete
  13. Aku juga menganggap pengenalan pendidikan seks penting juga untuk anak2, asal sesuai dengan tingkat pemahamannya.

    ReplyDelete
  14. Waah makasih, ini bermanfaat banget mba. Cara-cara menjawab anaknya. Walau anak gw perempuan, tapi sepertinya tekniknya ya kayak gitu ya. Asyik, bermanfaat dan thx yaaa

    ReplyDelete
  15. Saat single, aku membayangkan pergaulan di masa depan yg mungkin akan semakin menjadi-jadi. Apa kabar keturunan aku nanti?
    Pendidikan sex itu memang harus jelas sejelasnya jelasnya ya mbak

    ReplyDelete
  16. Iya bener banget ini, mesti sedari dini mungkin anak bisa jaga diri, tau ilmunya, karena kita gak bisa kontrol lingkungan. Semoga Prema dan anak-anak lainnya bisa terlindungi! :D

    ReplyDelete
  17. Zamannya beda, pengajarannya beda ya mba..hrs bner2 bukan pake istilah yg lain

    ReplyDelete
  18. Setuju mba, pendidikan mengenai organ tubuh dan reproduksi sebaiknya dimulai dari rumah

    ReplyDelete
  19. Sex education ini penting banget ditanamkan sejak kecil. ANak2ku jg skrng kalau pintu kebuka pas ganti baju teriak2 malu katanya.

    ReplyDelete
  20. Sepakat banget untuk mengatakan alat kelamin dengan nama sebenarnya tanpa istilah buatan hehehe..makasih tipsnya mbak.

    ReplyDelete
  21. Makasih Mbak sharingnya, kami juga mengenalkan alat kelamin pada Aiman dengan menyebut nama sebenarnya.
    Semoga anak-anak kita selalu dijaga dari pengaruh negatif dari LGBT ya Mbak, aamiin.

    ReplyDelete
  22. Prema kereenn, Mamaknya lebih keren lagi ihh menjelaskan ini ke Prema. Duuh, deeg banget dii Kak klo pas ditanya gitu ma Anak.
    thanks ya Kak, dapat ilmu lagi ini :*

    ReplyDelete