Saturday, December 3, 2022

Les Akademik Tambahan Untuk Anak, Perlukah?

 


Gila ya materi anak SD jaman sekarang. Berat banget. Kelas 3 udah belajar perkalian,angkanya udah gede-gede pula!”

“Bukan hanya matematika, pelajaran lain juga materinya berat-berat. Perasaan dulu kita belajar yang beginian pas udah kelas tinggi deh. Kasihan anak-anak,”

“Si Adek mau saya ikutkan les balistung nih. Mau masuk SD, ada tes bacanya!”

Familiar dengan kalimat-kalimat keluhan di atas?

Yups. Belakangan saya cukup sering mendengarnya. Baik dulu waktu ngobrol sesama orang tua murid di parkiran saat antar jemput sekolah, dalam obrolan tetangga saat arisan maupun di beranda media sosial.

Sejujurnya saya juga merasakan hal yang sama sih. Dulu itu masuk SD baru belajar membaca di sekolah. Belajar mengenal angka dan hitung-hitungan ringan di kelas 1 dan 2. Bahkan di kelas 3 rasanya baru sampai puluhan deh. Sekarang memang agak beda.

Tidak heran akhirnya banyak orang tua yang memutuskan untuk  mendaftarkan anak les tambahan. Mulai dari berhitung hingga pelajaran lainnya.  Jadi setelah anak pulang Sekolah, masih lanjut dengan les tambahan di sore harinya.

Apakah itu salah? Tentu saja tidak. Semua orang tua pasti ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya.  Selama itu tidak menjadi tekanan yang memberatkan untuk anak, tentu sah-sah saja untuk menyertakannya dalam les-les tambahan untuk meningkatkan kemampuannya.  Sebelum memutuskan untuk les tambahan, mari pertimbangkan beberapa hal berikut :

Usia Anak

Pada anak usia awal-awal masuk SD, sebenarnya kemampuan baca tulis bisa dilatih dan diajarkan di rumah, bersama orang tuanya.  Tapi memang tak semua orang tua punya waktu yang cukup untuk ini. Bisa jadi karena keduanya bekerja atau kesibukan lainnya.

Untuk kemampuan calistungdalam PP No. 17 tahun 2010, aturan tentang larangan penggunaan Calistung disebutkan dalam pasal 69 ayat 5, berbunyi “Penerimaan peserta didik kelas 1 (satu) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes lain”.

Meski demikian, kenyataannya memang  beberapa SD justru menjadikan calistung sebagai syarat utama untuk diterima.  Tidak apa-apa anak diberi les tambahan, tapi kita sebagai orang tua tetap memberikan perhatian dan pengawasan yang cukup sehingga anak dapat belajar dengan nyaman. Namun, saran saya sih tetap ya, calistung untuk kelas kecil itu bisa banget diajarkan di rumah, oleh orang tuanya.

Saya masih ingat masa-masa mengajarkan Prema membaca. Alih-alih duduk menghadapi kertas dan pensil, saya malah mengajaknya nonton kartun kesayangannya. Di sana ada teks terjemahannya. Di  beberapa scene saya pause, lalu bersama membaca tulisannya. Tak panjang-panjang, tulisan pendek saja. Paling banyak dua kata.

Atau saya ajak membaca buku bergambar. Di awal-awal tentunya saya bacanya cerita itu. Lalu dia mulai membaca dengan mengingat apa yang saya ajarkan, sesuai gambar dan imajinasinya. Tentunya banyak kata yang salah, namanya juga dia ngarang. Nah, saat itulah saya rapikan lagi membacanya. Mengenalkan huruf –huruf dalam bacaan.

Lain waktu, kami bermain balok dengan huruf. Atau menyusun lego-legoan huruf menjadi sebuah kata. Dibuat dalam bentuk permainan sehingga Prema nyaman mengerjakannya. Dia belajar, tapi rasanya bermain. Dia bermain tapi sekaligus belajar. Sampai suatu hari, kami dikejutkan karena tiba-tiba dia membaca tulisan sebuah toko ketika kami berkendara di depannya. Wuaaa… itu kejutan banget buat kami.  

Saat usianya bertambah, duduk di kelas yang lebih tinggi, lalu masuk SMP dan SMA bisa jadi kemampuan belajar juga berbeda.  Sebagian orang tua juga memasukkan anaknya ke les tambahan di luar jam Sekolah. 

Ada baiknya, tetap sesuaikan dengan usia anak agar penerimaan pelajarannya tidak menjadikan beban dan tertekan. Alih-alih mengerti yang ada nanti malah stress. Tetap perhatikan kebutuhan bermain, istirahat dan refreshingnya.



Kebutuhan Anak

Kesulitan anak mengikuti pelajaran tertentu biasanya karena ada beberapa faktor. Misalnya tak suka matematikan karena memang tidak menyukai berhitung. Tak suka PPKN karena banyak hafalan tanggal-tanggal. Atau bisa jadi karena faktor lain seperti kurang cocok dengan cara mengajar gurunya,  gak nyaman dengan suasana kelasnya, ada konflik dengan teman-temannya atau sebab-sebab yang lain.

Dalam kondisi seperti itu, mungkin langkah untuk les tambahan bisa diambil. Tapi tetap luruskan niat kita, bahwa les tembahan diperlukan agar anak tidak terlalu tertinggal jauh dari teman-temannya. Bukan untuk mengejar nilai sempurna.  Minimal tak sampai harus remedial saat ujian. Jelaskan baik-baik tentang hal ini agar anak tidak merasa terbebani.  Cukup sampai mendapat nilai standar saja. Kalau kemudian lebih atau jadi yang terbaik, itu adalah bonus. Bukan target utama.

Minat Bakat dan Kemampuannya

Seekor bebek diajar terbang terus menerus apakah kemudian membuatkan jadi bisa terbang? Tentu saja tidak. Karena memang  bukan di sana kemampuannya. Begitu juga anak-anak kita.

Ada anak yang pintar bernyanyi. Tapi tak jago berhitung

Ada anak yang jago olahraga. Tapi menyerah pada hafalan.

Ada anak yang pandai bermacam-macam bahasa. Tapi tak suka matematika.

Ada anak yang suka memasak. Tapi tak berminat olahraga.

Nah alih-alih memaksakannya memperoleh nilai tinggi pada pelajaran akademis yang tak disukainya yang justru malah membuat terbebani, mungkin ada baiknya kita melihat potensi yang dimilikinya. Ikutkan les musik atau vocal untuk yang berbakat di bidang itu. Ikutkan les taekwondo, karate, berenang, sepak bola, bulu tangkis atau apa saja yang sesuai dengan minat bakat yang dimiliki sehingga potensi ini berkembang secara optimal dan justru menjadi kekuatan di masa depan.

Kenyataannya, tak semua orang jadi ilmuwan, tak semua orang jadi dokter, fisikawan, dan sejenisnya. Nyatanya kita menikmati hiburan dari para penyanyi, film yang diperankan para aktor/aktris, ikutan bangga dengan prestasi para atlet, bolak-balik ke restoran yang sama karena menyukai olahan tangan chefnya,  negara butuh para ahli diplomasi dalam berbagai bahasa, dan beragam profesi lainnya yang bisa menjadi gambaran masa depan anak meski ia tak pandai matematika dan pelajaran eksakta lainnya.

Lalu bagaimana dengan akademisnya? Balik lagi, cukup sesuai standar saja, tak perlu memaksakan diri. Minimal jangan sampai tertinggal jauh.  Mari cek kembali niat kita memberi les tambahan akademik, benar untuk kebaikan anak atau hanya untuk memenuhi ego orang tua dan menjaga gengsi?

Libatkan Anak Dalam Pengambilan Keputusan

Ini adalah untuk masa depannya. Jadi mari membiasakan untuk melibatkannya dalam setiap rencana kehidupannya. Mulai dari memilih sekolah hingga rencana les tambahan untuk meningkatkan prestasinya.  Bahkan mungkin biaa dimulai dari hal-hal sederhana seperti memilih baju, sepatu, makanan dan lain sebagainya.

Dengan demikian anak akan merasa lebih dihargai dan belajar mengeluarkan pendapat yang sesuai dengan kata hatinya. Ini juga akan menjaga bonding yang baik antara anak dan orang tua. Kita tidak perlu menjadi orang tua diktator yang memaksakan kehendak pada anak.  Tentunya, karena ini keputusan bersama, maka anak akan menjalankannya dengan nyaman tanpa keterpaksaan.

Nah gimana, anak-anak udah diles-in apa aja nih? Cerita Yuk!

 

Salam

Arni

 

 

 

 

 

0 comments:

Post a Comment