Monday, December 12, 2022

,

Ulangan Anak Remedial? Selooow Aja, Buuu!


 

“Ibu gak menuntut kakak harus dapat nilai seratus atau jadi juara kelas. Minimal Kakak bisa ngerjain dengan baik dan gak remedial aja udah cukup. Tapi dengan syarat kakak tetap belajar sungguh-sungguh, serius dan berusaha yang terbaik. Kalau udah usaha maksimal tapi ternyata hasilnya masih belum sesuai harapan ya udah, berarti memang segitu kemampuannya. Asal jangan terlalu santai dan menyepelekan pelajaran ya,”

Kalimat di atas berkali-kali saya sampaikan ke Prema, bahkan sejak masih SD. Apalagi sekarang saat SMP yang memang pelajarannya tentu agak lebih rumit dibanding saat SD dulu. Masih ditambah lagi penyesuaian kembali untuk sekolah tatap muka, setelah 2 tahun lebih full online selama pandemi yang beneran bikin anak jadi mager, pola belajarnya berubah dan jadi terlalu santai.

Begitu masuk SMP, bukan hanya materi pelajarannya yang bertambah, juga jam belajarnya yang lebih panjang. Mulai banyak protes karena jatah main (gadget)nya berkurang.  Bersyukurnya, di kurikulum merdeka ini tak ada lagi pemberian PR/tugas rumah yang menumpuk. Kalaupun ada yang dikerjakan di rumah paling banter adalah latihan-latihan untuk praktek seperti speaking, listening, nyanyi dan sejenisnya yang dikerjakan dengan fun karena Prema menyukainya.

Makanya saya juga gak mau menekan terlalu berat harus nilai sekian-sekian misalnya. Apalagi mengharuskan jadi juara kelas. Ndaklah. Errr… udah gak jaman sih pake juara-juara kelas ya. Sejak kurikulum 2013 waktu SD dulu juga udah gak ada system juara kelas di Sekolah Prema. Sepertinya di SMP ini juga sama. Saya belum tahu pasti karena memang belum pengambilan rapor. Fyi, Prema baru duduk di Kelas 7.

Meski gak mewajibkan nilai tertentu, tetap saya berikan target. Ya minimal lulus KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal)  lah ya. Biar gak perlu remedial. Bukan apa-apa sih, kalau remedial ya dia juga yang repot khan. Harus belajar ulang, harus ngerjain soal lagi, sementara teman-temannya udah bisa santai karena nilainya tuntas di atas KKM.

Lalu bagaimana kalau tetap remedial juga?

Err…  ayolah mari menata hati. Mau gak mau anak harus menjalani, orang tua juga berbesar hati menerima. Mau diomelin juga ya gak bakalan bikin nilainya otomatis jadi naik to hehehe.

Saat PAS (Penilaian Akhir Semester) kemarin, dari 14 mata pelajaran yang diujikan, Prema remedial di mata pelajaran Bahasa Mandarin.  Yah  kalau ini mah jangankan Prema, emaknya juga pasti remedial sih. Asli saya puyeng lihat materi mandarin. Tiap mau ngucapin kata-katanya lidah terasa belibet hahaha. Syukurnya Prema agak terbantu dari nilai prakteknya yaitu bernyanyi lagu Mandarin.  Jujur, waktu rekaman nyanyi ini saya aja sampai bengong. Gak ngerti dia ngomong apa. Salut juga dia bisa bawainnya penuh penghayatan dengan ekspresi yang menyesuaikan dari makna lagunya. Saya hanya bisa ngasi semangat aja.

Nah, begitu dapat info kalau Prema harus remedial, yang ternyata hampir setengah siswa di kelasnya juga remedial, ya udahlah langsung aja minta Prema memperbaiki nilainya dengan mengerjakan soal-soal yang baru. Dan tahu gak, setelah mengerjakan soal yang baru pun, masih di bawah KKM juga, guys! Ampuuuuuun… emak udah gak bisa ngomong apa-apa dah.  Jadinya remedial di atas remedial deh. Syukurlah akhirnya selesai dengan baik.

Sejujurnya, sejak awal Prema mulai ulangan-ulangan di Sekolah, saya sendiri juga menyiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan remedial ini.  Menyiapkan diri untuk bisa menerima, terutama karena saya memang agak perfectionis dan kadang ketinggian ekspektasi.  Seperti yang pernah saya ceritakan di artikel “Ujian Orang Tua Saat Penerimaan Rapor

Jadi, kenapa kita sebaiknya selow aja kalau anak remedial? Ini dia alasannya.

Prestasi Bukan Hanya Akademis Saja

Sudah banyak buktinya di sekitar kita. Setiap orang punya peluang yang sama untuk sukses, di berbagai bidang.  Ada yang jadi juara di bidang olahraga, seni, IT, dan berbagai bidang lainnya. Profesi jaman now itu bukan hanya dokter, insinyur, arsitek, PNS, TNI/Polri dan sejenisnya. Beragam profesi baru tercipta terutama di era digital ini. Anak-anak generasi alfa punya ide-ide luar biasa yang bahkan dulu tak terpikirkan oleh kita.

Meski begitu, bukan berarti lantas mereka boleh mengabaikan kewajiban akademisnya. Tetap butuh pelajaran akademis. Sekolah itu bukan penentu profesi di masa depan, bukan untuk mencari pekerjaan. Sekolah itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Minimal bisa mengikuti pelajaran dengan baik, tanpa keterpaksaan. Kelak, tak ada ilmu yang tak berguna.  Mumpung masih muda, belajar dan mencobalah sebanyak-banyaknya.

Anak Tak Harus Menguasai Semua Mata Pelajaran

Tak ada orang yang sempurna. Apalagi sampai menguasai semua bidang. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan.  Bahkan sekelas Einstein pun rasanya tak menguasai semua bidang ilmu to.  Jadi yaw ajar aja kalau anak kuat di satu mata pelajaran, lemah di pelajaran lainnya. Sangat-sangat normal.

Menjaga Perasaan dan Kesehatan Mental Anak

Saat tahu nilainya di bawah KKM dan harus remedial, saat itu juga pasti mentalnya udah sempat down. Udah ada rasa kecewa dan mungkin bercampur dengan ketakutan. Takut diomelin, takut disalahin.  Alih-alih membuatnya jadi semangat belajar untuk memperbaiki nilai, memarahi bisa jadi malah membuat perasaannya sedih dan makin kecewa sama diri sendiri yang berujung pada perasaan tertekan dan bisa merusak kesehatan mentalnya.  Sebaiknya yang kita lakukan adalah menguatkan, member semangat dan dukungan, bahkan jika memungkinkan membantunya belajar agar lebih siap menghadapi remedial.

Menjaga Kesehatan Mental Kita Sebagai Orang Tua

Bukan hanya anak yang perlu dijaga kesehatan mentalnya. Kita sebagai orang tua juga perlu. Marah, kecewa, sedih hanya akan memupuk energi negative yang terus menerus tumbuh di dalam diri. Akibatnya kita juga menjadi gak nyaman, down, tak bersemangat dan segala derivasinya.

Daripada seperti itu, udahlah dibawa asyik aja. Remedial bukan akhir dunia kok. Semua tetap bisa berjalan baik-baik saja. Marah tak akan membuat nilainya otomatis tinggi. Jadi daripada ngomel, mendingan kita jaga diri tetap positif thinking sehingga bisa member dukungan terbaik untuk anak.

*****

Fyuuuuh… Nulis begini serasa saya udah paling sabar jadi ortu ya.

Percayalah. Ini saya nulis untuk menasehati diri sendiri. Serasa ngaca beneran. Besok-besok kalau saya marah, kecewa, ngomel trus terpikirkan tulisan ini semoga bisa jadi pengingat yang baik dan bikin saya berpikir dua kali untuk ngomel ketika Prema ada remedial. Malu sendiri to kalau hanya tahu teorinya tapi giliran praktek ternyata nol besar hehe.

Karena seperti tagline saya di blog ini “Menulis adalah menabung kenangan dan mengingatkan diri sendiri”

Sampai bertemu di tulisan berikutnya.

 

Salam

Arni

 

 

1 comment:

  1. Saya teringat dengan teori kecerdasan yang diungkapkan oleh Howard Gardner. Bahwa setiap anak itu paling tidak ada yang menonjol satu atau dua kecerdasan dari delapan kecerdasan teori tokoh tersebut. Makanya, tidak bisa dibandingke-bandingke antar anak, karena yo mesti kalah...

    ReplyDelete