Pernah gak sih,
Ayah dan Ibu serasa ngaca saat melihat kelakuan si kecil? Caranya merajuk,
ngambek, marah, menanggapi sesuatu dan seterusnya dan seterusnya.
“Itu
persis kamu banget waktu kecil!” Kata Nenek ke ayah/ibu saat melihat
kelakuan cucunya yang asik lelumpatan di tempat tidur.
“Oh pantesan aja anaknya begitu,lihat saja orang
tuanya kayak apa!”
“Aih anak pinteeeer. Wajar sih, lihat saja ayah dan ibunya!”
Familiar dengan
beberapa kalimat itu, Ma?
Rasanya kita
semua pasti dengar deh. Itu baru
sebagian kecil saja kelakuan bocah yang
kadang bikin saya tersenyum, terjebak atau malah jadi bengong. Pendeknya makjleb dah. Belum lagi saat dia
marah atau ngambek, dalam kasus saya,
Ayahnya sampai bolak balik senyum simpul dan melirik saya, katanya gaya
cah bagus persis emaknya #tutupmuka
Masih banyak lagi
kalimat-kalimat bernada serupa yang hadir dalam setiap interaksi kita
sehari-hari dalam keluarga. Dan kita,
pastinya ingin mendengar kalimat bernada pujian daripada cemoohan. Iya khan?
Dari beberapa contoh
itu, membuat saya sadar bahwa anak melihat dan mendengar contoh. Merekam lalu suatu hari mengulanginya. Ini tentu saja menjadi PR tersendiri bagi
kami, orangtuanya. Bagaimana agar kelak dia bisa meniru hal-hal baik dalam
perkataan dan perbuatan, bahkan dalam pikirannya. Adalah penting memasukkan kalimat-kalimat
baik untuk menambah kosakatanya. Pun
memberinya contoh agar tak salah dalam bersikap, baik kepada teman maupun
kepada mereka yang lebih tua.
Baca juga : Memupuk Benci atau menyuburkan cinta
Ayah Ibu, Aku
adalah representasi dirimu. Jika ingin
aku menjadi anak yang jujur, beri aku contoh kejujuran. Jangan tekan aku dengan rasa takut dan
kemarahan hingga aku tak berani menyuarakan kebenaran. Ajari aku mengakui kesalahan dengan contoh
dari kalian. Bahwa salah bukan hanya milik anak, tapi ada pada setiap
orang.
Ayah Ibu, Aku
adalah representasi dirimu. Ayah ibu
berharap aku jadi pecinta buku dan gemar membaca? Tahukah kalian, aku hanya
melihat contoh. Kalian yang sejak pagi
menggenggam HP, bukan buku. Kalian yang
setiap saat update status, kalian yang selalu tersenyum sendiri sembari menatap
layar dalam genggaman itu, bercengkerama dengan om tante yang entah berada
dimana. Tahukah Ayah, tahukah ibu, aku ingin sekali mendengar suara ayah ibu
yang membacakan cerita pengantar tidur untukku.
Dari buku-buku menarik yang menumpuk di rak itu. Aku memang sudah bisa
membaca sendiri, tapi aku jauh lebih bahagia jika mendengar suara Ayah dan Ibu
yang penuh kasih ditelingaku. Aku juga ingin didampingi saat mengerjakan PR,
dibimbing saat belajar menjelang ulangan.
Tanpa disambil menggenggam HP tentu saja.
Ayah Ibu, Aku
adalah representasi dirimu. Katanya kalian senang melihat anak yang aktif dan
kreatif. Aku juga pengen seperti
itu. Menyusun, berkreasi membuat sesuatu
dari barang-barang sederhana di sekitar kita.
Kita duduk bersama, menggunting, menempel, membuat apa saja. Bukan sekedar menarikan jemari dilayar HP
memainkan game yang hanya membuatku duduk diam, tegang, mata kadang lupa
berkedip dan tak peduli keadaan sekitar.
Aku ingin mengenal aneka mainan tradisional yang katanya kalian mainkan
dulu sewaktu kecil. Yang selalu kalian
bangga-banggakan itu, bernostalgia sembari bilang “generasi kita paling bahagia
deh!” Ayah ibu, kalianlah yang membentuk kami menjadi generasi digital. Karena,
sekali lagi, kami melihat contoh.
Ayah Ibu, Aku
adalah representasi dirimu. Kami diminta untuk belajar berjiwa besar. Melatih diri untuk meminta maaf dan
memaafkan. Menumbuhkan damai dan cinta
dalam setiap interaksi kami dengan kawan, siapapun dia, darimanapun asalnya,
apapun agamanya. Lagi-lagi kami butuh contoh dari kalian. Kalau orang (yang katanya) dewasa terus
menerus mempertontonkan perdebatan tiada habis hanya karena sebuah perbedaan, bagaimana
kami bisa mewujudkan perdamaian kelak?
Ayah Ibu, Aku
adalah representasi dirimu. Kami sedang belajar berdiplomasi saat
menyahuti perkataaan Ayah dan Ibu.
Bukankah ini sama seperti yang Ayah dan Ibu lakukan saat kita membuat
kesepakatan bersama? Tentang waktu belajar dan bermain, tentang tantangan untuk
berbuat baik, tentang pemberian reward dan punishment dari setiap
aktivitasku. Nggak kok, kami gak
bermaksud ngeyel atau mau membantah, kami hanya belajar mengeluarkan
pendapat. Bukankah Ayah dan Ibu ingin
kami lebh percaya diri?
Ayah Ibu, Aku adalah representasi dirimu. Ya, kami anak-anak adalah peniru ulung. Kami menonton setiap adegan kehidupan dari
orang dewasa di sekitar kami. Tolong
beri kami kami tontonan yang baik dan bermanfaat, untuk bekal kami kelak di
masa depan.
Selamat menjadi Ayah dan Ibu panutan.
#selftalk
Salam
Arni
Anak pertama saya itu yang sifatnya banyak miripnya ma saya. Tapi seringkali saya jadinya merenung. Mempunya kesamaan sifat ternyata belum tentu lebih mudah
ReplyDeleteJustru karena sama banget malah jadi terbebani kitanya ya mbak. Iya kalau yg nurun yg baik2 semua, kalau pas bagian yang justru pengen diperbaiki malah jadi melas hehe
DeleteIya mbak bener banget...tapi kadang adakalanya ortu lupa suka bilang "siapa yang ngajarin? Aku lo ga pernah ngajarin". Hehehe...
ReplyDeletekhan kita gak ngajarin secara langsung
DeleteMereka itu liat contoh dan menirukannya hehe
Makjleeb bangett, anak-anak emang peniru yang ulung. sebagai ortu harus selalu bisa jaga sikap dan perilaku jangan sampai memberi contoh yg ga baik.
ReplyDeleteNah
DeleteJadi gak heran ya klo emak bapake naarsis trus anaknya juga demen cekrek2 hahaha
Huaaa makasih renungn yang mendalam nan hakjleb ini ya mbaaaa
ReplyDelete--bukanbocahbiasa(dot)com--
Ma camaaaaaa
DeleteIni juga ditulis sebagai pengingat buat diri sendiri
Mba Arni, dalem...
ReplyDeleteSebagai orang tua apalagi ibu, di copy gitu gantiiii yaaa mbaaa hehe... Selalu ditiru
Pas udah ada prilaku negatif dari anak, biasanya aku jadi ngaca, terus inget2 lagi kejadian yg udah2 😹
Nah iya
DeleteAku juga gitu. Pas dia ngambek atau melakukan sesuatu yg gak pas, aku pertama2 mikir dulu apa aku atau ayahnha pernah begitu atau tidak