Pernahkah kamu membenci seseorang sampai mendengar namanyapun sudah membuat emosimu meningkat?
Pernahkah kamu melakukan kesalahan yang rasanya sembunyi di lubang terdalampun dia tetap membayangimu?
Saya pernah. Kedua-duanya.
Dan percayalah kawan, itu sangat tak enak. Hari-hari saya tak tenang.
Untuk kasus kedua, memang tak berlangsung lama hingga
tahunan. Untungnya saya langsung
menyadari kesalahan saya. Tinggal
mengumpulkan keberanian dan siap dengan segala resiko ketika mengakuinya pada
dia yang berhak tahu. Iya, jujur itu
berat dan terasa menyakitkan. Tapi
menanggung beban rasa bersalah itu sungguh jauh lebih berat dan seperti dikejar
ketakutan yang tak nyata. Dan ini
berakhir damai dengan sebuah kata sakti “MAAF” ditambah sebuah janji untuk tak
mengulanginya lagi. Lalu saya menyesal
kenapa gak sejak awal melakukannya.
Mengapa begitu berat mengucap kata maaf yang sesungguhnya menunjukkan
kebesaran jiwa untuk mengakui kesalahan, padahal dia yang kepadanya saya
berbuat salah, begitu membuka hati untuk memberi maaf.
Well, kasus kedua selesai dengan damai. Bagaimana dengan
yang pertama? Nyatanya hati saya begitu beku dan keras. Saya bahkan sempat melebarkan rasa benci ini
pada mereka yang berada dilingkarannya. Duh, jahat ya saya.
Sampai suatu hari semesta mempertemukan saya dengan sebuah talkshow Soul Reflection yang dibawakan oleh Bunda Arsaningsih. Rasanya saya mendapat siraman sejuk untuk panasnya marah yang saya pendam dalam hati. Kalimat demi kalimat yang disampaikan begitu mengena buat saya. Membuat saya menyadari betapa sesungguhnya sayalah yang membangun kebencian dan menutup semua sisi positif dari peristiwa yang saya anggap menyakitkan itu. Padahal kalau mau jujur, sedikit saja, sesungguhnya saya tak apa-apa. Setidaknya secara fisik, tak terganggu sedikitpun. Bahkan setelah peristiwa itu berlalu, meski dia tak pernah mengucap maaf, tapi sikapnya menunjukkan rasa bersalah. Dan saya menutup mata. Menghindar. Marah. Menangis. Mengasihani diri sendiri.
Lembar demi lembar buku soul reflection yang saya beli dalam
acara itu kemudian menjadi teman sehari-hari.
Sampai pada titik saya belajar mengikis amarah untuk dapat memaafkan
dengan tulus. Dan inilah yang saya lakukan
Berdamai dengan diri sendiri
Terdengar mudah, meski dalam praktiknya sungguh tak mudah. Dalam pemahaman saya, berdamai dengan diri sendiri adalah titik dimana saya menerima segala yang terjadi sebagai sebuah proses pembelajaran untuk membawa saya naik kelas. Baik buruk, senang susah, sukses gagal, semua hadir bukan tanpa alasan. Bagaimanapun, diluar faktor eksternal, kita adalah penentu setiap langkah yang kita pilih. Bahwa yang terjadi bisa saja diluar ekspektasi, jauh dari impian, maka saatnya lakukan refleksi, bahwa diri kita punya andil besar dalam setiap hasil. Iya, ini membuat saya tak lagi sibuk menenangkan pertentangan dalam batin, yang sesungguhnya hanya antara saya, saya dan saya. Berdamai. Maka hanya ada satu saya. Yang siap menerima suatu kejadian dengan hati ikhlas.
Melihat sisi positif dari setiap peristiwa
Dalam kasus saya, kebencian tumbuh karena saya mengalami
peristiwa menyakitkan yang disebabkan oleh seseorang. Peristiwa yang kemudian membayangi dan
membuat saya ketakutan dan trauma pada situasi tertentu. Terbangun tiba-tiba karena mimpi buruk. Nah,
saya merekam peritiwa itu yang kemudian secara berulang diputar oleh memori
saya. Tapi, saya melupakan sesuatu. Bahwa
sebenarnya itu adalah peristiwa gagal. Bahwa saya tak apa-apa. Bahwa saya baik-baik saja. Kenapa saya gak
mengubah perspektif saya ya?
Bersyukur bahwa saya tak kurang satu apapun. Hari-hari selanjutnya berlalu dengan baik
karena saya (secara fisik) memang baik-baik saja. Harusnya saya bersyukur karena peristiwa itu
gagal. Hey… ini dia sisi
positifnya. Saat saya mengingat bagian
ini, tiba-tiba saya mendapati bibir saya tersenyum. Hati saya bahagia karena
ternyata saya “pemenangnya”. Lalu buat
apa saya membencinya?
Tak ada yang namanya kebetulan
Bukanlah suatu kebetulan kita bertemu dengan seseorang atau berada di suatu tempat. Hukum tarik menarik akan mendekatkan hal-hal dengan level frekuensi yang sama. Jalan karma akan membawa kita pada setiap tempat dan peristiwa yang sesuai.
Kalau begitu, adakah orang yang memang ditakdirkan
jadi korban atau jadi penjahat dan seterusnya?
Tidak.
Sesungguhnya bukan ditakdirkan untuk menjadi sesuatu, hukum tabur tuai
yang membawanya kesitu. Ketika menyadari
ini, kita akan lebih mudah berdamai dengan diri dan memahami orang lain,
termasuk menyadari bahwa apa yang terjadi bukanlah kebetulan.
Ada pelajaran disana, bagaimana menyikapi sebuah
pertemuan atau kejadian yang diinginkan.
Ada proses pendewasaan disana, bagaimana melakukan introspeksi diri
untuk menjadi lebih baik. Dengan begitu
akan lebih mudah untuk memaafkan.
Memaafkan bukan berarti melupakan
Nah ini dia pointnya.
Kenapa rasa benci saya terus tumbuh subur, karena saya memaksa diri saya
melupakan peristiwa menyakitkan itu.
Tanpa sadar, setiap kali saya berniat melupakan, saat itu justru saya
membeeri pupuk terbaik pada ingatan untuk terus menyimpannya dalam memori. Akibatnya amarah juga ikut tersulut karena
dia tampak semakin dekat dan nyata.
Ketika kemudian saya perlahan berdamai dengan diri sendiri,
berusaha melihat sisi positif dan memahami bahwa segala yang terjadi nukanlah
kebetulan, perlahan saya belajar memaafkan.
Lantas apakah saya melupakannya? Ternyata tidak. Yang terjadi adalah saya bisa tersenyum saat
mengingatnya. Saya tak lagi bergetar
menahan emosi ketika peristiwa itu berkelebat sesaat dalam memori. Saya juga kemudian lebih santai ketika
semesta menjadikan saya terhubung kembali dengannya, pun dengan orang-orang
disekelilingnya. Bahkan rasanya bertemu
juga saya siap, dengan hati damai tanpa kemarahan. Semua sudah berlalu, meski
tetap menjaga jarak dalam pikir, kata dan laku, tapi setidaknya saya tak lagi
menyimpan dendam.
Bahagiakah saya?
Untuk yang satu ini, dengan tegas saya jawab “IYA”
Saya merasa mendulang sebuah prestasi. Memberi makanan sarat gizi bagi jiwa agar
lebih damai dan tenang menghadapi hidup.
Bahagia itu sederhana. Bahagia
itu kita yang mencipta. Jangan biarkan rasa benci menyelimuti. Meminta maafl dan membuka pintu maaf, dua hal
terindah yang membuat damai di hati, damai selalu.
Salam
EmakCihuy
Yess... Begitulah
ReplyDeleteIya mbak
DeleteYess...begitulah hati manusia. Tidak terbuat dari lempengan alumunium mknya rasa itu akan susah hilang
ReplyDeleteMemang seharusnya bukan dihilangkan, karena tak ada yang benar2 hilang meski dihapus, bekasnya akan tetap ada.
DeleteYang dibutuhkan adalah mengubah sudut pandang dan memenuhinya dengan cinta
Yang point 1 itu kadang susah mak ,jujur sampai detik ini pun sy masih susah membuka kata maaf utk orang yg sy benci . Tp penjelasannya oke semua tuh , akan dicoba deh biar bisa memaafkan
ReplyDeleteDalam banyak hal, point satu itu memang paling sulit mbak. Karena sesungguhnya pertentangan terbesar dalam hidup adalah mengalahkan ego dalam diri sendiri
DeleteKece ๐
ReplyDeleteNuhun tulisannya
Salam kenal, #1minggu1cerita
Hai.
DeleteMakasi ya udah mampir
Tema minggu ini lumayan berat euy
Yg poin 2, saya sudah bisa move on. & memang hidup jadi lebih damai. Tapi kalau poin yg 1, memang sulit. Capek banget memang.
ReplyDeleteCapek tapi ketika kita bisa melakukannya terasa legaaaaa
DeleteKarena jauh lebih capek memelihara amarah dan benci
Keren ka ๐berdamai dengan diri sendiri terkadang susah :(
ReplyDeleteHarus saya akui, ini memang susah hiks
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteTulisan ini semacam jawaban dari tulisan yg saya buat hehehe
ReplyDeleteApalagi yang bagian memaafkan bukan berarti melupakan
wah iyakah?
DeleteSahut2an dong kita ya hehe
Segera meluncuuuuuuur
Memaafkan yang akan menerima kebaikannya adalah diri kita sendiri ๐ jadi lebih baik memaafkan daripada mendendam ya mba, suka tulisannya
ReplyDeleteTerimaksih sudah berkenan baca :)
DeleteIya, saya merasakan banget waktu masih menyimpan marah dan dendam, saya benar-benar gak tenang.
Sekarang masih terus belajar agar bisa menjadi pemaaf yang tulus
suka sekali sama tulisanya
ReplyDeleteTerimakasih mbak
DeleteBERDAMAI dengan diri sendiri. YESSSS setuju banget it's needed
ReplyDeleteToss Mami kece
DeleteMakasih sharingnya. Setelah baca ringkasannya plus pengalaman di sini, saya jadi tertarik sama bukunya.
ReplyDeleteSalam kenal ๐
-Tatat
Bukunya banyak di Gramedia, Mas
DeleteSilahkan hunting hehe
Saya sih gak bosan2 ya baca bukunya, apalagi kalau lagi galau, buku ini membantu banget
Setuju mba,
ReplyDeleteyang paling berat kalau buat saya adalah berdamai dengan diri sendiri. Kalau sudah berdamai, memang mudah untuk memaafkan..
Iya mbak. Berdamai dengan diri sendiri, meski berat tapi harus dilakukan
DeleteAku terenyuh baca kisah Mbak sekaligus salut. :) Apalagi kadang aku cuma nyalahin diri sendiri.
ReplyDeleteMulais ekarang aku harus berdamai dengan diri sendiri. :)