Wednesday, February 8, 2017

Maaf dan Memaafkan, Makanan Utama Untuk Jiwa Bahagia



Pernahkah kamu membenci seseorang sampai mendengar namanyapun sudah membuat emosimu meningkat?
Pernahkah kamu melakukan kesalahan yang rasanya sembunyi di lubang terdalampun dia tetap membayangimu?
Saya pernah.  Kedua-duanya.

Dan percayalah kawan, itu sangat tak enak.  Hari-hari saya tak tenang.  


Untuk kasus pertama, setiap kali teringat atau ada sesuatu yang berhubungan dengannya, rasanya tubuh saya gemetar karena emosi.  Mendadak saya ingin marah dan memaki.  Dan ini berlangsung selama bertahun-tahun lamanya. Bahkan ketika saya sudah pisah kota, menikah kemudian punya anak.  Berkali saya berusaha melupakan tapi tetap saja banyak hal yang seolah menggiring ingatan untuk tentangnya.  Saya menghindar, tapi rasanya semesta membawa dia mendekat. Duuuuuh……

Untuk kasus kedua, memang tak berlangsung lama hingga tahunan.  Untungnya saya langsung menyadari kesalahan saya.  Tinggal mengumpulkan keberanian dan siap dengan segala resiko ketika mengakuinya pada dia yang berhak tahu.  Iya, jujur itu berat dan terasa menyakitkan.  Tapi menanggung beban rasa bersalah itu sungguh jauh lebih berat dan seperti dikejar ketakutan yang tak nyata.  Dan ini berakhir damai dengan sebuah kata sakti “MAAF” ditambah sebuah janji untuk tak mengulanginya lagi.  Lalu saya menyesal kenapa gak sejak awal melakukannya.  Mengapa begitu berat mengucap kata maaf yang sesungguhnya menunjukkan kebesaran jiwa untuk mengakui kesalahan, padahal dia yang kepadanya saya berbuat salah, begitu membuka hati untuk memberi maaf.

Well, kasus kedua selesai dengan damai. Bagaimana dengan yang pertama? Nyatanya hati saya begitu beku dan keras.  Saya bahkan sempat melebarkan rasa benci ini pada mereka yang berada dilingkarannya. Duh, jahat ya saya.
 

Sampai suatu hari  semesta mempertemukan saya dengan sebuah talkshow Soul Reflection yang dibawakan oleh Bunda Arsaningsih.  Rasanya saya mendapat siraman sejuk untuk panasnya marah yang saya pendam dalam hati.  Kalimat demi kalimat yang disampaikan begitu mengena buat saya.  Membuat saya menyadari betapa sesungguhnya sayalah yang membangun kebencian dan menutup semua sisi positif dari peristiwa yang saya anggap menyakitkan itu.  Padahal kalau mau jujur, sedikit saja, sesungguhnya saya tak apa-apa.  Setidaknya secara fisik, tak terganggu sedikitpun. Bahkan setelah peristiwa itu berlalu, meski dia tak pernah mengucap maaf, tapi sikapnya menunjukkan rasa bersalah.  Dan saya menutup mata. Menghindar.  Marah.  Menangis.  Mengasihani diri sendiri.
Lembar demi lembar buku soul reflection yang saya beli dalam acara itu kemudian menjadi teman sehari-hari.  Sampai pada titik saya belajar mengikis amarah untuk dapat memaafkan dengan tulus. Dan inilah yang saya lakukan

Berdamai dengan diri sendiri


Terdengar mudah, meski dalam praktiknya sungguh tak mudah.  Dalam pemahaman saya, berdamai dengan diri sendiri adalah titik dimana saya menerima segala yang terjadi sebagai sebuah proses pembelajaran untuk membawa saya naik kelas. Baik buruk, senang susah, sukses gagal, semua hadir bukan tanpa alasan.  Bagaimanapun, diluar faktor eksternal, kita adalah penentu setiap langkah yang kita pilih. Bahwa yang terjadi bisa saja diluar ekspektasi, jauh dari impian, maka saatnya lakukan refleksi, bahwa diri kita punya andil besar dalam setiap hasil. Iya, ini membuat saya tak lagi sibuk menenangkan pertentangan dalam batin, yang sesungguhnya hanya antara saya, saya dan saya.  Berdamai. Maka hanya ada satu saya. Yang siap menerima suatu kejadian dengan hati ikhlas.

Melihat sisi positif dari setiap peristiwa

 

Dalam kasus saya, kebencian tumbuh karena saya mengalami peristiwa menyakitkan yang disebabkan oleh seseorang.  Peristiwa yang kemudian membayangi dan membuat saya ketakutan dan trauma pada situasi tertentu.  Terbangun tiba-tiba karena mimpi buruk. Nah, saya merekam peritiwa itu yang kemudian secara berulang diputar oleh memori saya.  Tapi, saya melupakan sesuatu. Bahwa sebenarnya itu adalah peristiwa gagal. Bahwa saya tak apa-apa.  Bahwa saya baik-baik saja. Kenapa saya gak mengubah perspektif saya ya?

Bersyukur bahwa saya tak kurang satu apapun.  Hari-hari selanjutnya berlalu dengan baik karena saya (secara fisik) memang baik-baik saja.  Harusnya saya bersyukur karena peristiwa itu gagal.  Hey… ini dia sisi positifnya.  Saat saya mengingat bagian ini, tiba-tiba saya mendapati bibir saya tersenyum. Hati saya bahagia karena ternyata saya “pemenangnya”.  Lalu buat apa saya membencinya?

Tak ada yang namanya kebetulan


Bukanlah suatu kebetulan kita bertemu dengan seseorang atau berada di suatu tempat. Hukum tarik menarik akan mendekatkan hal-hal dengan level frekuensi yang sama.  Jalan karma akan membawa kita pada setiap tempat dan peristiwa yang sesuai. 
Kalau begitu, adakah orang yang memang ditakdirkan jadi korban atau jadi penjahat dan seterusnya?
Tidak.  Sesungguhnya bukan ditakdirkan untuk menjadi sesuatu, hukum tabur tuai yang membawanya kesitu.  Ketika menyadari ini, kita akan lebih mudah berdamai dengan diri dan memahami orang lain, termasuk menyadari bahwa apa yang terjadi bukanlah kebetulan.

Ada pelajaran disana, bagaimana menyikapi sebuah pertemuan atau kejadian yang diinginkan.  Ada proses pendewasaan disana, bagaimana melakukan introspeksi diri untuk menjadi lebih baik.  Dengan begitu akan lebih mudah untuk memaafkan.

Memaafkan bukan berarti melupakan


Nah ini dia pointnya.  Kenapa rasa benci saya terus tumbuh subur, karena saya memaksa diri saya melupakan peristiwa menyakitkan itu.  Tanpa sadar, setiap kali saya berniat melupakan, saat itu justru saya membeeri pupuk terbaik pada ingatan untuk terus menyimpannya dalam memori.  Akibatnya amarah juga ikut tersulut karena dia tampak semakin dekat dan nyata.

Ketika kemudian saya perlahan berdamai dengan diri sendiri, berusaha melihat sisi positif dan memahami bahwa segala yang terjadi nukanlah kebetulan, perlahan saya belajar memaafkan.  Lantas apakah saya melupakannya? Ternyata tidak.  Yang terjadi adalah saya bisa tersenyum saat mengingatnya.  Saya tak lagi bergetar menahan emosi ketika peristiwa itu berkelebat sesaat dalam memori.  Saya juga kemudian lebih santai ketika semesta menjadikan saya terhubung kembali dengannya, pun dengan orang-orang disekelilingnya.  Bahkan rasanya bertemu juga saya siap, dengan hati damai tanpa kemarahan. Semua sudah berlalu, meski tetap menjaga jarak dalam pikir, kata dan laku, tapi setidaknya saya tak lagi menyimpan dendam.

Bahagiakah saya?


Untuk yang satu ini, dengan tegas saya jawab “IYA”
Saya merasa mendulang sebuah prestasi.  Memberi makanan sarat gizi bagi jiwa agar lebih damai dan tenang menghadapi hidup.  Bahagia itu sederhana.  Bahagia itu kita yang mencipta. Jangan biarkan rasa benci menyelimuti.  Meminta maafl dan membuka pintu maaf, dua hal terindah yang membuat damai di hati, damai selalu.

Salam
EmakCihuy


26 comments:

  1. Yess...begitulah hati manusia. Tidak terbuat dari lempengan alumunium mknya rasa itu akan susah hilang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang seharusnya bukan dihilangkan, karena tak ada yang benar2 hilang meski dihapus, bekasnya akan tetap ada.
      Yang dibutuhkan adalah mengubah sudut pandang dan memenuhinya dengan cinta

      Delete
  2. Yang point 1 itu kadang susah mak ,jujur sampai detik ini pun sy masih susah membuka kata maaf utk orang yg sy benci . Tp penjelasannya oke semua tuh , akan dicoba deh biar bisa memaafkan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dalam banyak hal, point satu itu memang paling sulit mbak. Karena sesungguhnya pertentangan terbesar dalam hidup adalah mengalahkan ego dalam diri sendiri

      Delete
  3. Kece ๐Ÿ˜
    Nuhun tulisannya

    Salam kenal, #1minggu1cerita

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai.
      Makasi ya udah mampir
      Tema minggu ini lumayan berat euy

      Delete
  4. Yg poin 2, saya sudah bisa move on. & memang hidup jadi lebih damai. Tapi kalau poin yg 1, memang sulit. Capek banget memang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Capek tapi ketika kita bisa melakukannya terasa legaaaaa
      Karena jauh lebih capek memelihara amarah dan benci

      Delete
  5. Keren ka ๐Ÿ‘berdamai dengan diri sendiri terkadang susah :(

    ReplyDelete
  6. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  7. Tulisan ini semacam jawaban dari tulisan yg saya buat hehehe
    Apalagi yang bagian memaafkan bukan berarti melupakan

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah iyakah?
      Sahut2an dong kita ya hehe
      Segera meluncuuuuuuur

      Delete
  8. Memaafkan yang akan menerima kebaikannya adalah diri kita sendiri ๐Ÿ˜Š jadi lebih baik memaafkan daripada mendendam ya mba, suka tulisannya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimaksih sudah berkenan baca :)
      Iya, saya merasakan banget waktu masih menyimpan marah dan dendam, saya benar-benar gak tenang.
      Sekarang masih terus belajar agar bisa menjadi pemaaf yang tulus

      Delete
  9. BERDAMAI dengan diri sendiri. YESSSS setuju banget it's needed

    ReplyDelete
  10. Makasih sharingnya. Setelah baca ringkasannya plus pengalaman di sini, saya jadi tertarik sama bukunya.

    Salam kenal ๐Ÿ˜Š
    -Tatat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukunya banyak di Gramedia, Mas
      Silahkan hunting hehe
      Saya sih gak bosan2 ya baca bukunya, apalagi kalau lagi galau, buku ini membantu banget

      Delete
  11. Setuju mba,
    yang paling berat kalau buat saya adalah berdamai dengan diri sendiri. Kalau sudah berdamai, memang mudah untuk memaafkan..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak. Berdamai dengan diri sendiri, meski berat tapi harus dilakukan

      Delete
  12. Aku terenyuh baca kisah Mbak sekaligus salut. :) Apalagi kadang aku cuma nyalahin diri sendiri.

    Mulais ekarang aku harus berdamai dengan diri sendiri. :)

    ReplyDelete