Sinopsis
Film ‘My
Generation’ bercerita tentang persahabatan 4 anak SMU, Zeke, Konji, Suki dan
Orly. Diawali dengan gagalnya mereka pergi liburan karena video buatan mereka
yang memprotes guru, sekolah, dan orangtua going viral di sekolah mereka.
Hingga mereka dihukum tidak boleh pergi liburan. Tapi mereka terlalu keren
untuk mengutuki keadaan dan membuat orang-orang yang sudah menghukum mereka
puas. Liburan sekolah yang terkesan tidak istimewa, akhirnya justru membawa
mereka pada kejadian-kejadian dan petualangan yang memberi pelajaran sangat
berarti dalam kehidupan mereka. Keempat sahabat ini memiliki karakteristik yang
berbeda dengan konflik yang berbeda-beda pula.
Saksikan
selengkapnya kisah Zeke, Suki , Konji dan Orly di bioskop kesayangan Anda, 9
November 2017!
******
Saya
sudah tertarik sejak pertama kali membaca sinopsis film ini yang banyak beredar
di media sosial. Katanya sih, ini film
remaja yang tak biasa. Bukan soal cinta
monyet ala ABG tapi lebih pada menguak konflik dalam kehidupan remaja vs orang
tua yang tampil dengan banyak aturan sehingga mereka merasa terkekang.
Lalu
saya menyaksikan trailernya yang hadir kemudian. Beberapa wajah pemainnya tampak tak asing
seperti Surya Saputra dan Aida Nurmala, dua nama yang kualitas aktingnya tak
diragukan lagi dan biasanya (agak) pilih-pilih peran, harus yang berkarakter
kuat dan memiliki pesan moral yang baik.
Sementara untuk pemeran utama remajanya, Upi sang sutradara menampilkan
wajah-wajah baru yang mana katanya karakter mereka di kehidupan nyata tak
terlalu jauh berbeda dengan karakter dalam film. Sampai disini saja sudah cukup bikin
penasaran, bukan?
![]() |
Saya suka scene ini. Settingnya diantara buku-buku |
Trailer
dibuka dengan menampilkan suara keempat remaja tersebut (Zeke, Suki, Konji dan
Orly) berupa protes terhadap keadaan, dalam hal ini orang tua dengan sederet
aturan, suka mendikte, posesif dan seterusnya.
Juga tentang bagaimana mereka berusaha mendobrak norma dan aturan yang berlaku.
Dalam beberapa scene juga ditampilkan adegan protes ala mereka seperti
mencoret-coret mobil, teriak-teriak di jalanan, clubbing di diskotik dan
lain-lain.
Ide Awal Film My Generation
Melihat
trailernya, jujur saja saya gemas sekaligus cemas. Hati saya bertanya-tanya, benarkah seperti
ini realita remaja milenial?
"Film ini mencoba memotret
kehidupan anak muda masa kini yang lebih kompleks dibanding generasi
sebelumnya. Sehingga sangat mendekati realita kehidupan kaum remaja metropolis," demikian
kata Upi dalam konferensi pers yang digelar beberapa waktu lalu.
Lagi-lagi
saya terhenyak. Jadi begini gambaran
hubungan orang tua dan remaja masa kini? Masa sih? Apalagi ketika Upi
mengatakan bahwauntuk pembuatan film ini, butuh riset selama dua tahun agar
kondisinya benar-benar sesuai realita.
Risetnya lebih banyak via social
media listening, bahkan beberapa dialog dalam film ini juga mengambil
petikan-petikan dari komunikasi di sosial media tersebut.
Sementara
untuk sisi orang tua, benar-benar digambarkan seperti “diktator” yang mengatur
segalanya tanpa memberi kesempatan pada anak untuk menjadi diri sendiri dan
berekspresi.
Huft.
Maafkan saya. Saya agak mengelus
dada. Sebagai orang tua dengan seorang
putra yang baru berusia 7 tahun, rasanya saya ingin menangis membayangkan
bagaimana kelak putra saya menjalani masa remajanya kalau memang benar sekarang
realita remaja seperti dalam film My Generation ini. Saya benar-benar sedih melihat pertengkaran
orang tua dan anak. Saya sedih
membayangkan adegan saling membentak itu.
Saya sedih melihat cara anak-anak ini protes terhadap keadaan. Saya juga sedih melihat pola asuh dan pola
didik yang penuh dengan aturan tak boleh ini, tak boleh itu, harus begini,
harus begitu.
Ahhh….
Siapalah saya. Hanya seorang ibu yang
ingin anak saya tumbuh bahagia, menjadi pribadi yang baik dan melihat
contoh-contoh kebaikan. Anak adalah
peniru ulung. Dia akan tumbuh sebagaimana
dia melihat lingkungannya tumbuh.
Keluarga adalah sekolah pertamanya.
Saya
tidak tahu pasti, riset selama dua tahun yang dilakukan Upi ini bagaimana
prosesnya dan siapa korespondennya.
Apakah hanya remaja di kota besar?
Ah ya, mungkin saja begitu.
Karena memang katanya ini adalah gambaran remaja metropolis. Di kota manakah? Jakarta? Surabaya? Bali? Atau dimana? Saya juga bertanya-tanya, kenapa Upi memilih
menampilkan realita yang ini ya, bukan contoh remaja yang memiliki ide-ide
kreatif seperti membuka rumah baca, menjadi tenaga relawan dalam kegiatan
sosial, menjadi guru di daerah terpencil, jawara olimpiade, pemuda pelopor atau
remaja-remaja berprestasi lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan
ini berkecamuk dalam pikiran saya, sejak pertama kali melihat trailernya. Pertanyaan sekaligus ketakutan, alih-alih
menampilkan realita konflik masa remaja (yang semoga disertai solusi terbaik),
film ini bisa jadi malah menjadi contoh dan role model untuk remaja melakukan
hal yang sama. Dari sisi orang tua juga gitu, alih-alih menjadikan orang tua
mengerti bahwa anak jangan terlalu dikekang, dicurigai dan derivasinya, bisa
jadi film ini malah membuat meeka berpikir, “Tuh khan, anak jaman sekarang memang bandel-bandel. Udah benarlah kita ketatkan aturan dalam
rumah!”
Memang
benar, menontonnya gak boleh dilepas sendirian, sebaiknya film ini ditonton
bersama oleh anak dan orang tuanya.
Setelah itu diskusikan dengan bijak.
Saling membuka diri agar dapat mengerti keinginan satu sama lain.
Oh
oke. Saya memang belum bisa bicara
banyak, karena memang filmnya belum tayang.
Jadi ya, memang harus nonton dulu untuk menjawab rasa penasaran saya
ini. Semoga, saat filmnya tayang,
pertanyaan-pertanyaan saya menemukan jawabannya.
Harapan Itu Masih Ada
Ada
yang pernah dengar nama Melati dan Isabel Wijsen?
Dua
remaja asal Bali ini, adalah inisiator gerakan ”bye-bye plastic bag”. Mereka
masih sangat muda. Belasan tahun. Masih tingkat SMP. Mereka berdua, kakak beradik mengawali
gerakannya dengan aksi nyata, mengajak teman-temannya mengumpulkan sampah di
pantai dan ruang publik lainnya. Mereka
juga melakukan edukasi pada masyarakat dan pedagang untuk menguranngi
penggunaan kantong plastik bahkan kalau bisa sampai pada titik “zero plastic bag”. Bukan sekedar menghimbau atau melarang,
mereka juga menyiapkan solusi dengan membagikan wadah alternatif seperti
kantong-kantong kain, memberi ide pembuatan tas dari baju bekas, karung dan
lain-lain.
Gerakan ini dimulai pada taun 2013 dan kini menjadi contoh bagi anak-anak muda di belahan dunia lain, untuk lebih peduli pada issue lingkungan. Hingga saat ini, gerakan yang sama bermunculan di kota lain, baik di dalam maupun luar negeri, hingga ke 15 negara, dengan pilar education “One island one voice”. Mereka bahkan diundang menjadi pembicara dalam forum-forum dunia untuk kampanye ini. Luar biasa khan? Ini juga remaja masa kini lho.
Gerakan ini dimulai pada taun 2013 dan kini menjadi contoh bagi anak-anak muda di belahan dunia lain, untuk lebih peduli pada issue lingkungan. Hingga saat ini, gerakan yang sama bermunculan di kota lain, baik di dalam maupun luar negeri, hingga ke 15 negara, dengan pilar education “One island one voice”. Mereka bahkan diundang menjadi pembicara dalam forum-forum dunia untuk kampanye ini. Luar biasa khan? Ini juga remaja masa kini lho.
Beberapa
waktu lalu, saya yang kebetulan menjadi guru di sebuah yayasan pendidikan,
berkesempatan mendampingi beberapa siswa untuk mengikuti kegiatan “Gita Camp On Leadership”. Pesertanya, ratusan remaja usia 15 – 21 tahun
dari seluruh Indonesia. Panitianya, juga
para pemuda dan mahasiswa. Haru
menyeruak di dada melihat semangat mereka, baik panitia maupun peserta yang
berbaur dalam kebersamaan, selama dua hari penuh. Bagaimana mereka menjalani materi yang padat
dan bergizi, mengikuti setiap kegiatan dan siap menjadi agen perubahan, para
calon pemimpin masa depan. Acaranya
berlangsung di Jakarta. Kota
metropolitan. Tapi bukan dalam hotel mewah, kegiatannya dilakukan dalam bentuk
camp sederhana.
Di
kesempatan lain, dalam event 17 Agustus di lingkungan perumahan tempat tinggal
saya, sudah 3 tahun berturut-turut kami menyerahkan kepanitiaan pada anak-anak
remaja. Mereka yang merancang setiap
lomba, mengatur schedule, menyiapkan
hadiah, menghias lapangan, dan seterusnya.
Kami, orang tua cukup memantau dan membantu menyiapkan dana. Tapi, bukan sekedar meminta, mereka juga
menggalang dana sendiri melalui bazaar dan lain-lain. Semua kegiatan berjalan baik. Saya tinggal di Bogor, kota yang sangat dekat
dengan Jakarta.
Masih
banyak contoh-contoh lain dari kegiatan remaja yang kalau saya jembrengin
disini bisa jadi sangat panjang daftarnya.
Ada lho event berbagi nasi, clean action, mengajar anak jalanan dan
lain-lain yang semua dilakukan oleh remaja.
Kenapa
saya menulis ini?
Saya
hanya ingin menyampaikan, bahwa remaja perlu diberi ruang untuk
berekspresi. Perlu didengar suaranya dan
diberi kesempatan berkreasi. Mereka
adalah masa depan kita yang punya ide-ide segar, kekinian sesuai jiwanya. Apakah remaja-remaja yang saya contohkan
diatas tidak ‘nyemplung’ di sosial media? Oh, mereka juga punya kok facebook,
instagram, juga bercuit ria di twitter.
Saya tahu, karena saya membaca dan berteman dengan mereka di sosial
media.
Apakah Upi tidak mengangkat issue seperti ini karena terasa minim konflik? Atau kehidupannya kurang menarik? Entahlah.
Apakah Upi tidak mengangkat issue seperti ini karena terasa minim konflik? Atau kehidupannya kurang menarik? Entahlah.
Karena
kalau disebut minim konflik, mereka-mereka ini juga mengalami konflik kok. Melati dan Isabel misalnya, pernah lho mogok makan demi mendapat kesempatan
mempresentasikan programnya ke Gubernur Bali.
Orang tuanya juga tidak langsung memberi lampu hijau pada kegiatan
sosial mereka. Umumnya orang tua,
menginginkan anak-anaknya focus saja ke sekolah, tak usah sok jadi pahlawan
kesiangan. Tapi mereka membuktikannya
dengan aksi nyata. Maka jadilah seperti
sekarang.
Pun
demikian tentunya dengan anak-anak remaja yang terlibat dalam kepanitiaan yang
saya sebutkan diatas. Konfliknya malah
lebih seru. Melihat mereka berdiskusi,
berdebat, mengeluarkan ide hingga mencapai titik temu itu menarik banget
lho. Setidaknya dari kacamata saya,
seorang ibu, seorang guru dan orang dewasa.
Dan
ini juga adalah My Generation, remaja masa kini dalam tampilan berbeda.
Jadi, apakah film My Generation benar menampilkan Realita?
Karena
belum nonton filmnya. Saya hanya bisa
bilang, “Mungkin Iya.”
Bahwa
benar ada remaja-remaja dan orang tua sebagaimana digambarkan dalam film
itu. Bahwa benar ada konflik seperti
itu. Ada, bukan berarti mewakili
sebagian besar atau keseluruhan. Meski
begitu, kita juga sebaiknya tak menutup mata.
Meski tak mewakili mayoritas (keluarga), tapi kondisi ini tetap harus
mendapat perhatian (dan edukasi).
Mungkin saja Upi mengangkat issue ini untuk membuka mata dan menyentak kesadaran kita bahwa,”Ini lho yang terjadi di sekitar kita. Ini benar-benar ada. Kita harus lebih peduli. Pada anak, pada lingkungan, pada kehidupan sosial.”
Mungkin saja Upi mengangkat issue ini untuk membuka mata dan menyentak kesadaran kita bahwa,”Ini lho yang terjadi di sekitar kita. Ini benar-benar ada. Kita harus lebih peduli. Pada anak, pada lingkungan, pada kehidupan sosial.”
Terlalu
longgar, mereka lepas.
Terlalu dikekang,
mereka berontak.
Terlalu diatur, mereka
kurang percaya diri.
Bahwa
hubungan orang tua dan anak bukanlah hubungan atasan dan bawahan, bukan mandor
dan para pekerja. Hubungan orang tua dan
anak adalah sahabat, yang siap saling mendengar, berbicara dari hati ke hati,
saling menyiapkan dada lapang dan bahu yang nyaman untuk bersandar. Keluarga adalah tim terbaik.
Saya
berharap hadirnya film My Generation ini dapat memberi sedikit gambaran tentang hubungan
dalam keluarga. Mengungkap konflik dan
tentu saja memberi solusi. Bahwa
gambaran yang ditampilkan adalah remaja metropolis yang marahnya disalurkan
dengan clubbing, teriak-teriak dan lain-lain itu, mungkin memang fakta yang
(harus) disajikan. Tapi bahwa ada titik
temu yang nyaman untuk semua, semoga juga dihadirkan.
Tak
ada sekolah menjadi orang tua. Masa
remaja adalah masa penuh gejolak, butuh pengakuan dan aktualisasi diri. Semoga kita semua bijak menyikapi. Selamanya
adalah belajar dan belajar. Bukan hanya
anak, bukan hanya Ayah dan Ibu, tapi semua.
Belajar bersama, di Sekolah sepanjang masa, Sekolah Kehidupan.
Jadi,
siap nonton 9 November nanti?
Nobar
yuuuuuuuks…………….
Salam
Arni
Wah sudut pandang yang beda nih. Saya sendiri juga tahu banyak remaja yang berprestasi baik di bidang lingkungan, pendidikan, dan sebagainya. Kadang kalau ngliat kick andy sampai suka ngiri sendiri bahw kesempatan dan peluang untuk remaja masa kini itu terbentang lebar
ReplyDeletemesku begitu, g tau kenapa menurut saya kalau dibuat perentase ya lebih banyak remaja yang merasa dikekang, diatur, ga didengarkan pendapat nya. hmm, mungkin perlu dibuat penelitian nya sih biar jelas datanya. jadi makin penasaran nih saya sama filmnya
ReplyDeleteMasih baca sinopsisnya aja udah mupeng. Pasti bagus nih ceritanya. Makasih udah diingetin mbak
ReplyDeleteMba Arni ulasannya tajaaaaam dan kontekstual banget. Thanks for sharing this mba
ReplyDelete--bukanbocahbiasa(dot)com--
Filmnya emang lagi ngehits dan jalan ceritanya sesuai dengan realita jaman now😀
ReplyDeletetulisannya tajam dan membuka wawasan euy, sinopsis aja udah begini gimana ulasan filmnya.. warbiyasyak..
ReplyDeletehttps://ardeviwiharjo.wordpress.com/
Belum bisa komen banyak karena belum liat filmnya sih mbak. Semoga aja filmnya bagus sesuai harapan dan bisa diambil pesannya oleh ortu, guru, bahkan oleh remaja itu sendiri yaaaaa
ReplyDeleteKids jaman now memang punya maunya tersendiri namun kita sebagai orang dewasa harus mampu memahami dan bijak memperlakukan mereka kan mbak.
ReplyDeleteIni film emang bagus untuk ditonton orang tua juga.
Sukak tulisan ini aku.... Ajak aku ke Bali kak...
ReplyDeleteMbak Arni selalu bijak melihat persoalan, ya. Suka baca ulasan film yang baru mau tayang ini, Mbak. Ya, semoga (dan tampaknya memang begitu) itu hanya gambaran kecil dari kehidupan remaja metropolis. Dan kita ambil saja pelajaran dari film itu :)
ReplyDeleteSejak my generation membombardir time line aku.
ReplyDeleteMungkin jadi list di film yang akan ditonton
aku jadi penasaran, kayaknya wajib masuk list tontonan november nih, biar aku enggak nonton horor muluuu
ReplyDeleteSaya selalu salut dg anak2 muda yg memiliki jiwa sosial tinggi.
ReplyDeleteTp memang kita tdk bisa menutup mata realita film my generation ada disekitar
Perlu banget nih ngajak sepupu suami nonton film ini. Semoga dia mau yak biar tahu gambaran dunia remaja masa kini
ReplyDeleteNah, harus nonton filmnya dulu baru bisa tahu realitanya gimana ya...
ReplyDeleteMenarik mbak. Film sebagaimana banyak sekali pemberitaan media saat ini sering kali lebih banyak mengedepankan berita2 yang negatif. Kalau saya mau ikutan negatif, saya akan berpikir mungkin berita, cerita atau potret kehidupan seperti itu lebih laku dijual. Tapi karena saya belum nonton juga filmnya, jadi mungkin (dan sangat berharap) ada value lain yang jauh lebih besar yaaa dari film tersebut:)
ReplyDeletenunggu muncul di lk.21 hiks. seb naseb merantau ...
ReplyDeletebtw.. mdh2an film2 remaja yg digarap kedepan yg lebih inspiratif buat remaja dln konteks positif ya.. tp fenomena di film ini ga bisa kita pungkiri juga.. krn mmg ada