Hai
hai Emak kembali dengan cerita sehari-hari nih.
Beberapa
bulan terakhir, setiap kali buka media sosial, selalu saja ada teman yang
update cerita reunian sekolahnya. Memang
lagi musim tampaknya ya. Reuni
menghadirkan kenangan. Reuni mengungkap
kisah masa lalu. Usai reuni, bukan hanya
kisah manis tentang kenangan yang tercipta, tak jarang cerita pahit turut
hadir. Pasangan yang cemburu adalah
salah satunya.
Baru-baru
ini, dua WAG saya rame banget, alumni SMP dan SMA. Semuanya membahas reuni. Mulai dari persiapan, rapat-rapat panitia
hingga foto-foto serunya. Aaaarrghh…
saya hanya bisa gigit jari. Posisi yang
jauh terpisah kota membuat kedua reuni itu tidak saya hadiri. Meski begitu kaos angkatan dan segala
merchandise sampai juga kok ke
Bogor. Bahagia banget melihat wajah
kawan-kawan lama yang sudah sukses dibidangnya masing-masing. Bahagia banget melihat keakraban yang
tercipta dan tiba-tiba saya merasa ingin punya mesin waktu agar bisa kembali ke
masa-masa indah itu.
Tapi
eh tapi, di salah satu WAG, ada lho kawan yang keluar masuk setiap hari. Pagi hari saat sudah berangkat kerja dia join grup. Sore/malam saat pulang ke rumah, dia left grup. Awalnya saya pikir karena urusan sinyal atau
HP yang sering error karena keterbatasan memori dan derivasinya, ternyata saya
salah. Usut punya usut, istrinya
cemburu! Jadi di grup tadi, gabung dong ya cewek cowok, namanya juga grup
alumni to, salah satunya ada sang mantan yang kebetulan masih lajang. Nah, jelang reuni teman-teman tentunya
ngumpul lebih intensif untuk persiapan acara.
Jadi ya sering jalan bareng, foto-foto bareng, nganterin pulang dan
seterusnya yang ternyata memancing kecemburuan sang istri. Maka demikianlah, keluar masuk grup setiap
hari. Main aman katanya.
“Mau gimana lagi? Sudah dibilang cuma sahabat,
dia tetap gak percaya. Ya udah, mending
begini aja. Memangnya kita anak kecil
yang diatur-atur harus jalan sama siapa aja!” Kilah teman saya.
Errr….
Kalau menurut saya sih ini namanya main api.
Saya
tidak tahu bagaimana sebenarnya kondisi rumah tangga mereka. Saya juga tidak tahu pola komunikasinya. Bukan wilayah saya untuk mengomentari dan
mencari tau. Ntar jadinya malah ikut
campur bin kepo. Tapi, dalam kacamata
sederhana saya, rasa cemburu dan curiga itu wajar dong dalam rumah tangga. Lha wong kakak aja bisa cemburu lho kalau
adik dapat perhatian lebih dari ibunya, apalagi istri yang merasa suami sering
jalan sama yang lain. Iya to?
Setelah Menikah, Perlukah tetap Punya Sahabat?
Setiap
orang butuh teman untuk mengungkapkan isi hati.
Curhat, menangis, bercerita. Tak
ada orang yang bisa hidup sendiri. Kita
semua butuh dukungan, apalagi jika dalam kondisi jatuh dan terpuruk. Saat itulah kita butuh sahabat, yang siap
menjadi pendengar yang baik, menyediakan dada yang bidang dan bahu yang kuat
untuk bersandar.
Memilih
untuk mempercayakan kish-kisah pribadi pada orang lain tentu saja bukan hal
mudah. Alih-alih mendapat dukungan, bisa
jadi malah nyebar kemana-mana jika tak tertitip pada orang yang tepat. Meski begitu, bila sudah klik, sahabat adalah
dia yang siap mendampingi dalam suka dan duka, susah dan senang. Perlukah kita punya sahabat setelah
menikah? Jawabannya kembali pada diri
sendiri, sebutuh apa kita akan dukungan orang lain.
Ada
tiga jenis persahabatan yang umum terjadi yaitu persahabatan dengan sesama
jenis (ibu-ibu, bapak-bapak), persahabatan dengan lawan jenis dan persahabatan
dengan mantan (ini sih lawan jenis juga, tapi pernah melibatkan hati dan rasa
#ehm). Mari kita intip satu persatu.
Persahabatan
dengan sesama jenis
Waktu
SMA dulu saya pernah punya genk yang isinya cewek-cewek semua. Kemana-mana bareng, duduk juga deket-deketan.
Saat lulus, kami terpencar-pencar di berbagai kota karena melanjutkan
pendidikan di jurusan berbeda. Awalnya
sih masih sering kontak-kontakan, jaman itu pakai surat lho. Lambat laun intensitasnya berkurang sampai
akhirnya kami sempat lost contact. Terimakasih pada media sosial dan WAG yang
kembali mempertemukan kami dalam status yang sudah berbeda, jadi emak semua. Saat kuliah, kembali lagi saya punya grup
yang isinya cewek semua, berlima.
Sayang, ditahun-tahun terakhir, persahabatan kami sempat retak karena
urusan “sepele” : COWOK! Haha memang ya, kalau udah urusan hati, sensitif bener. Nantilah saya cerita khusus soal ini. Yang pasti sekarang kami sudah akur kembali kok.
Berawal dari anak-anak di TK yang sama, hingga sekarang sekolah di SD yang berbeda, kami tetap kompak dan sering ngumpul-ngumpul |
Nah,
kalau sekarang umumnya grup terbentuk karena kesamaan minat atau
kepentingan. Pecinta kristik, grup
pengajian, grup traveling, grup menulis sampai grup orang tua murid karena
anak-anaknya berada di kelas yang sama. Nah,
biasanya grup-grup ini mengekrucut menjadikan satu dua orang menjadi lebih
dekat. Jadi tempat curhat, bercerita apa
saja. Jalan bareng, ngumpul-ngumpul
rutin. Sah-sah saja sih, asal tidak
sampai mengabaikan peran utama di keluarga, baik jadi Ibu ataupun Ayah. Jangan sampai keasikan ngumpul lantas
keluarga terbengkalai.
Persahabatan
dengan Lawan Jenis
Nah,
untuk yang satu ini biasanya terjalin dengan rekan kerja. Ada orang-orang yang nyama bergaul dan
bercerita apa saja dengan rekan kerja yang nota bene lawan jenis. Terasa lebih nyaman dan mendapat perhatian
mungkin ya.
Silakan
saja. Meski begitu tetaplah menjaga jarak. Tak semua hal bisa kita ceritakan, apalagi
jika sudah menyangkut hal-hal pribadi seperti masalah dalam rumah tangga. Alih-alih mendapat pendengar dan saran yang
baik, jangan sampai malah terjerumus pada hal-hal yang tak diinginkan.
Persahabatan
dengan Mantan
Yang
satu ini lebih sensitif lagi deh. Namanya pernah ada rasa ya, bisa dibayangkan
bagaimana desir yang hadir saat bertemu.
Meski bersembunyi dibalik kalimat, “Oh, Aku udah gak ada perasaan
apa-apa kok sama dia!” tetap saja bukan jaminan keamanan untuk hati. Satu pihak bisa bilang begitu, bagaimana
dengan pihak yang satu lagi?
Dulu
putus baik-baik. Makanya sekarang tetap
bisa berteman. Ya, cukup berteman. Perlakukan sama seperti teman yang lain. Jika dia melangkah ke level sahabat, bisa
jadi obrolannya juga jauh lebih pribadi.
Ingat, jangan sekali-sekali membahas kekurangan pasangan sekarang (suami
ataupun istri) dengan mantan kita. Ini
bahaya! Benar-benar tanda stop berwarna merah.
Ngomong-ngomong
soal mantan, beberapa mantan saya ada yang menjadi kotak di media sosial. Jujur saja, saat dia mengajukan pertemanan,
butuh waktu lama untuk saya meng-confirm permintaan itu. Entahlah, saya merasa harus berpikir
panjang. Meski akhirnya saya kemudian
menyetujui pertemanan kami, tapi ya begitu, setiap kali saya/dia menulis status,
paling banter ya parkir jempol saja.
Sampai hari ini, kami cukup sekedar tau keadaan masing-masing.
Sedikit
berbeda ketika mantan suami tiba-tiba ngajuin pertemanan di FB saya, saya
menyetujui pertemanannya tanpa banyak pertimbangan. Sampai sekarang kami jadi teman baik, saling
menyapa dan ngobrol dengan santai. Fyi,
saya dan suami juga hadir di pernikahannya sebagai tamu.
Sahabat Terbaik adalah Pasangan Kita
Saya
dan suami kebetulan bertemu dari latar belakang yang sama, sebuah organisasi
mahasiswa tingkat nasional dimana kami sama-sama menjadi pengurus
didalamnya. Karena itu, beberapa orang
dalam lingkaran kami adalah orang yang sama, sahabat bersama dan sekarang
menjadi sahabat keluarga. Pun demikian
dengan anak-anak kami.
Untuk
yang seperti ini, kami lebih mudah mengerti satu sama lain jika ingin
berkegiatan bareng.
Sekedar
ngumpul-ngumpul, mau seharian penuh juga nyaman-nyaman aja karena memang sudah
saling kenal dan akrab. Akan berbeda tentu saja jika urusannya ngumpul dengan
teman saya (dimana suami dan anak ikut serta) ya kasian juga atuh, saya asyik
haha hihi sementara dia ngangon anak atau (terpaksa) nimbrung tapi agak gak
nyambung. Pun demikian sebaliknya jika
saya yang menemani dia bertemu dengan kawan lamanya.
Baik
suami maupun istri, semua butuh me
time. Kita butuh ruang untuk
relaks, ngobrol seru bareng teman-teman lama, bernostalgia, melepas rindu. Asal timingnya pas, hayuk aja. Komunikasi itu penting. Karena semua tentu ada batasnya. Dalam sebuah hubungan, hak pribadi kita
dibatasi oleh hak pribadi orang lain.
Nah,
timbang sibuk mencari-cari tempat curhat diluar sana, kenapa gak pasangan kita
aja yang djadikan tempat curhat. Lha
wong janji pernikahannya mendampingi dalam segala suasana kok, dalam suka dan
duka, sehidup semati hingga kakek nenek dan ajal memisahkan. Kurang apa coba?
Saya
ini tipe yang suka bercerita. Khan
katanya perempuan itu memang harus menghabiskan 20.000 kata sehari, kalau gak
tuntas bisa uring-uringan. Jadinya,
apa-apa tuh saya ceritakan ke suami. Kejadian
sepanjang hari selama kami tak bersama.
Sekarang sih udah punya penyaluran lain buat menghabiskan stock
kata-kata itu, dengan menulis. Lumayan
to ngabisin 1000 kata lebih, biar gak numpuk di kepala hahaha. Jadi saya punya sahabat baru setelah menikah,
kalau dulu namanya diary yang ditulis-tulis sampe pegel tangannya, sekarang
bernama blog, yang medianya ketak ketik posting. Ya kalau butuh lebih banyak
kata yang dikeluarkan, membaca aja kenceng-kenceng saat blogwalking ^^
Jadi,
kamu memilih bersahabat dengan siapa?
Tulisan ini merupakan bagian dari #KEBloggingCollab dari Grup Butet Manurung dengan Post Trigger tentang Persahabatan Setelah Menikah di Web KEB ditulis oleh Mak Ophi Ziadah pemilik www.ophiziadah.com
Tulisan lain terkait tema ini dari grup yang sama antara lain dari mbak Fiona, mbak Hidayah, mbak Rina Susanti Silakan diintip opini dari kami ya.
Selamat Membaca
Selamat Membaca
Mbaaa utk lucu banget pantun eh apa yaa kata2nya itu lhooo
ReplyDeleteSy jadi pingin share ke grup alumni wkwkwkw
Setuju bangeeet, sahabat terbaik adalah pasangan masing-masing yaaa 😊
ReplyDeleteDan aku ikutan gemes baca teman kamu yg masih suka nganter dan jalan bareng. Dinasehatin dong yang dekat dengan keduanya.
Hihihi itu cerita temennya yang keluar masuk grup tiap hari ada2 aja yaa.. Sampe segitunya 😁😁
ReplyDeleteKalo aku juga untungnya suamiku itu sahabatku jaman kuliah dulu, jadi temen dia ya temenku juga..
aku juga ke nulis krn ga bisa mengeluarkan 20rb kata ke suami. haha. nasib.. nasib. anyway aq msh pny temen sejenis kelamin dan beda jenis tapi segeng gitu temennanya. jadi kalo kumpul ya rame2 tetep ada yg cewek
ReplyDeleteItu nganter pulangnya berduaan aja Mbak? Kalo iya, wajar aja sih istrinya cemburu. Baiknya diperingatkan aja agar ga sampai kebablasan perasaannya.
ReplyDeleteKalo aku jujur, setelah menikah emang lingkaran pertemananku menyempit karena waktu sehabis kerja atau weekend lebih banyak buat keluarga.
Sahabat lawan jenisku hanya satu yaitu Anis, kebetulan dulu kenalnya barengan ama Ivon sehingga kami bertiga sama-sama tahu dan nyambung ngobrolnya.
Hihihi... Jadi ini alasan kenapa mbak Arni gak mau ngomongin mantan ya? Hihihi. Saya juga gak bisa kalau harus berteman dengan mantan,jujur deh.Untungnya mantan suami udah gak ada alias wafat jadi aman. Sedangkan mantan saya... ah... kami udah menangkap takdir kami masing-masing
ReplyDeletekalian mau jadi sahabatku?
ReplyDeleteAah setuju banget bagian akhir. Suami adalah sahabat terbaik. Semoga kita selalu bisa menjadi sahabat yg baik juga untuk suami ya :)
ReplyDelete