Penjor di halaman rumah sudah berdiri tegak. Sebagai simbol gunung yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Penjor Galungan bersifat religius, dengan segala kelengkapannya yang masing-masing memiliki makna filosofis. Berbeda dengan janur melengkung hiasan untuk acara pernikahan, peresmian sesuatu dan lain-lain.
Memasang Penjor bertujuan untuk mewujudkan rasa bakti dan sebagai ungkapan terima kasih kita atas kemakmuran yang diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan). Bambu yang melengkung adalah gambaran dari gunung tertinggi sebagai tempat yang suci, hiasan Penjor yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, jajan, dan kain adalah wakil dari semua tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan, yang dikaruniai oleh Hyang Widhi Wasa (Tuhan).
Pada hari ini, Selasa - Anggara Wara Wuku Dungulan (Penampahan Galungan) umat Hindu bersuka cita mempersiapkan perlengkapan hari raya Galungan besok. Mendirikan penjor, menyiapkan banten, memasak aneka makanan, berkumpul bersama keluarga.
Pada saat yang sama, hari ini saudara-saudara muslim juga memulai puasa Ramadhan. Tentunya disambut dengan sukacita dan semangat untuk beribadah lebih baik lagi.
Di Bali, area publik banyak diisi spanduk, papan baliho dan sejenisnya yang berisi dua ucapan sekaligus
"Selamat Galungan dan Kuningan
Selamat menjalankan ibadah puasa"
Hati saya hangat melihat ini saat melintas sepanjang jalan-jalan di Bali.
Bahagia dan sukacita ini milik bersama. Bahkan baru saja berlalu di pekan yang lalu, umat kristiani merayakan paskah. Semua tentang kebahagiaan, kemenangan dan sukacita.
Sampai dengan sebulan ke depan, berkunjung ke publik area dan pusat perbelanjaan akan dipenuhi pernik Idul Fitri dengan warna khasnya diiringi lagu-lagi Islami yang mengalun dari speakernya. Memang waktunya. Mari nikmati bersama.
Ketika menyaksikan pertunjukan barongsai dan aneka lampion cantik yang selalu hadir menandai datangnya tahun baru Imlek
Pun saya juga bahagia menyaksikan dan mendengar suara gong dan beleganjur mengiringi melasti umat Hindu setiap menjelang Nyepi, dalam perjalanan panjang menuju ke laut untuk melakukan rangkaian upacara Nyepi. Kalau sekarang, kebahagiaannya karena hari raya Galungan, kemenangan dharma melawan adharma.
Oh, saya pernah menulis sebuah kisah toleransi dari sebuah dusun nun jauh di kaki Gunung Lawu, Jlono namanya. Silakan kunjungi di sini
Pesan Toleransi dari Dusun Jlono, Kemuning, Karanganyar
Bahagia Itu Sederhana
Iya.
Bahagia saya sederhana
Melihat dan mendengar sahabat, kawan, kerabat melaksanakan ibadah sesuai agamanya termasuk merayakan dan menyampaikan sukacita dengan caranya. Hanya menyaksikan, bukan turut dalam ibadahnya.
Segala pernik itu adalah pelengkap, bukan pengantar ibadah. Bukan pula penentu seberapa dekat hati, pikiran dan tindakan kita berada dalam jalur ajaran dan keyakinan yang kita anut. Setidaknya itu yang saya tanamkan dalam diri saya
Bahagia saya sederhana, saat saya bisa beribadah dengan nyaman, tanpa pandangan aneh atau selidik dari mereka yang menganggap kami penyembah berhala dan aneka anggapan lainnya.
Bahagia saya sederhana, saat kita semua bisa bergandeng tangan, saling berdampingan dalam damai.
Selamat Galungan lan Kuningan semeton sedharma. Dumogi Rahayu sareng sami
Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan kawan dan saudara umat Islam
Semoga ibadah ini menjadikan kita lebih bijak dalam berpikir, berkata dan berbuat
Salam
#kitaindonesia
Baca artikel ini teduh banget, ya. Jadi tau kalau di daerah yang masyarakatnya heterogen ternyata jauh lebih toleran. :)
ReplyDeleteAku jadi ikut bahagia baca artikel ini, indahnya toleransi antarumat beragama, rasanya jadi bersyukur juga kita bisa tinggal di negara yang mempunyai keberagaman.
ReplyDeleteTeduh banget rasanya.
ReplyDeleteMenghargai dan saling menghormati. Duh bikin tenang jiwa.
Toleransi antar umat beragama memang sejatinya untuk saling ada, bentuk menghargai diri dari laku pada orang lain.
saya kangen suasana saat masih SMA dulu, di mana saat saya mengucapkan selamat hari raya pada teman yang berbeda agama tidak ditimpali kata haram dari teman muslim lain yang kebetulan mendengarnya
ReplyDeletesenang sekali memligat suasana adem ayem dan saling bertoleransi begini ya mba.. semoga di seluruh penjuru nusantara kerukunan beragama ini makin terwujud nyata. aamiin..
ReplyDeleteIndahnya membaca artikel kak Arni mengenai toleransi umat beragama.
ReplyDeleteSemoga kita semua senantiasa diberi kemudahan untuk saling menghargai dan saling menghormati apapun agama yang dianut.
Kebahagiaan memang sesederhana itu. Saya pernah punya teman umat Kristiani di kosan Semarang. Dia orang Solo.
ReplyDeletePas awal pandemi, dia kan WFH. Jadi bisa pulang saat Ramadhan tahun lalu.
Sementara saya nggak bisa mudik. Merasa sepi di kosan.
Teman saya itu mengirimi saya makanan beberapa kali. Dan menemani saya meski hanya lewat telepon dan video call.
Rasanya tu happy gitu. Meski sendirian tetap merasa ada temennya. Hehehe
saya bersyukur bisa belajar toleransi pas masih kecil. kayaknya, itu agak langka buat anak-anak sekarang yaa hehe. dulu teman dekat saya agamanya hindu, laki-laki pula. kami biasa main bareng sepulang sekolah dan saling berkunjung pas hari besar, termasuk waktu nyepi wkwk waktu itu aku masih SD sih jadi nggak begitu paham. apalagi temenku ini nggak ikutan nyepi karena masih kecil.
ReplyDeleteBisa beribadah dengan tenang dan khusyu memang membahagiakan ya Mbak. Berasa dekat banget sama Sang Pencipta.
ReplyDeleteKalau membandingkan dengan saudara-saudara di negara lain yang untuk ibadah harus sembunyi2, rasanya sayang sekali kalau kita yang dimudahkan untuk beribadah take it fot granted.
Bukan begitu mbak?
Indahnya Indonesia dengan keanekaragaman budaya dan agamanya ya mbak. Senang juga kalau umat beragama di negara kita ini bisa merayakan hari rayanya dengan penuh suka cita dan damai serta saling menghargai satu sama lain.
ReplyDelete