Friday, October 27, 2017

Serba Serbi Persahabatan Setelah Menikah





Hai hai Emak kembali dengan cerita sehari-hari nih.  

Beberapa bulan terakhir, setiap kali buka media sosial, selalu saja ada teman yang update cerita reunian sekolahnya.  Memang lagi musim tampaknya ya.  Reuni menghadirkan kenangan.  Reuni mengungkap kisah masa lalu.  Usai reuni, bukan hanya kisah manis tentang kenangan yang tercipta, tak jarang cerita pahit turut hadir.  Pasangan yang cemburu adalah salah satunya.


Baru-baru ini, dua WAG saya rame banget, alumni SMP dan SMA.  Semuanya membahas reuni.  Mulai dari persiapan, rapat-rapat panitia hingga foto-foto serunya.  Aaaarrghh… saya hanya bisa gigit jari.  Posisi yang jauh terpisah kota membuat kedua reuni itu tidak saya hadiri.  Meski begitu kaos angkatan dan segala merchandise sampai juga kok ke Bogor.  Bahagia banget melihat wajah kawan-kawan lama yang sudah sukses dibidangnya masing-masing.  Bahagia banget melihat keakraban yang tercipta dan tiba-tiba saya merasa ingin punya mesin waktu agar bisa kembali ke masa-masa indah itu.

Tapi eh tapi, di salah satu WAG, ada lho kawan yang keluar masuk setiap hari.  Pagi hari saat sudah berangkat kerja dia join grup.  Sore/malam saat pulang ke rumah, dia left grup.  Awalnya saya pikir karena urusan sinyal atau HP yang sering error karena keterbatasan memori dan derivasinya, ternyata saya salah.  Usut punya usut, istrinya cemburu! Jadi di grup tadi, gabung dong ya cewek cowok, namanya juga grup alumni to, salah satunya ada sang mantan yang kebetulan masih lajang.  Nah, jelang reuni teman-teman tentunya ngumpul lebih intensif untuk persiapan acara.  Jadi ya sering jalan bareng, foto-foto bareng, nganterin pulang dan seterusnya yang ternyata memancing kecemburuan sang istri.  Maka demikianlah, keluar masuk grup setiap hari.  Main aman katanya. 

 “Mau gimana lagi? Sudah dibilang cuma sahabat, dia tetap gak percaya.  Ya udah, mending begini aja.  Memangnya kita anak kecil yang diatur-atur harus jalan sama siapa aja!” Kilah teman saya.

Errr…. Kalau menurut saya sih ini namanya main api.

Saya tidak tahu bagaimana sebenarnya kondisi rumah tangga mereka.  Saya juga tidak tahu pola komunikasinya.  Bukan wilayah saya untuk mengomentari dan mencari tau.  Ntar jadinya malah ikut campur bin kepo.  Tapi, dalam kacamata sederhana saya, rasa cemburu dan curiga itu wajar dong dalam rumah tangga.  Lha wong kakak aja bisa cemburu lho kalau adik dapat perhatian lebih dari ibunya, apalagi istri yang merasa suami sering jalan sama yang lain.  Iya to?





Setelah Menikah, Perlukah tetap Punya Sahabat?

Setiap orang butuh teman untuk mengungkapkan isi hati.  Curhat, menangis, bercerita.  Tak ada orang yang bisa hidup sendiri.  Kita semua butuh dukungan, apalagi jika dalam kondisi jatuh dan terpuruk.  Saat itulah kita butuh sahabat, yang siap menjadi pendengar yang baik, menyediakan dada yang bidang dan bahu yang kuat untuk bersandar.  

Memilih untuk mempercayakan kish-kisah pribadi pada orang lain tentu saja bukan hal mudah.  Alih-alih mendapat dukungan, bisa jadi malah nyebar kemana-mana jika tak tertitip pada orang yang tepat.  Meski begitu, bila sudah klik, sahabat adalah dia yang siap mendampingi dalam suka dan duka, susah dan senang.  Perlukah kita punya sahabat setelah menikah?  Jawabannya kembali pada diri sendiri, sebutuh apa kita akan dukungan orang lain.

Ada tiga jenis persahabatan yang umum terjadi yaitu persahabatan dengan sesama jenis (ibu-ibu, bapak-bapak), persahabatan dengan lawan jenis dan persahabatan dengan mantan (ini sih lawan jenis juga, tapi pernah melibatkan hati dan rasa #ehm).  Mari kita intip satu persatu.

Persahabatan dengan sesama jenis

Waktu SMA dulu saya pernah punya genk yang isinya cewek-cewek semua.  Kemana-mana bareng, duduk juga deket-deketan. Saat lulus, kami terpencar-pencar di berbagai kota karena melanjutkan pendidikan di jurusan berbeda.  Awalnya sih masih sering kontak-kontakan, jaman itu pakai surat lho.  Lambat laun intensitasnya berkurang sampai akhirnya kami sempat lost contact.  Terimakasih pada media sosial dan WAG yang kembali mempertemukan kami dalam status yang sudah berbeda, jadi emak semua.   Saat kuliah, kembali lagi saya punya grup yang isinya cewek semua, berlima.  Sayang, ditahun-tahun terakhir, persahabatan kami sempat retak karena urusan “sepele” : COWOK! Haha memang ya, kalau udah urusan hati, sensitif bener.  Nantilah saya cerita khusus soal ini.  Yang pasti sekarang kami sudah akur kembali kok.



Berawal dari anak-anak di TK yang sama, hingga sekarang sekolah di SD yang berbeda, kami tetap kompak dan sering ngumpul-ngumpul
Nah, kalau sekarang umumnya grup terbentuk karena kesamaan minat atau kepentingan.  Pecinta kristik, grup pengajian, grup traveling, grup menulis sampai grup orang tua murid karena anak-anaknya berada di kelas yang sama.  Nah, biasanya grup-grup ini mengekrucut menjadikan satu dua orang menjadi lebih dekat.  Jadi tempat curhat, bercerita apa saja.  Jalan bareng, ngumpul-ngumpul rutin.  Sah-sah saja sih, asal tidak sampai mengabaikan peran utama di keluarga, baik jadi Ibu ataupun Ayah.  Jangan sampai keasikan ngumpul lantas keluarga terbengkalai.
 
Sesekali emak boleh kok jalan-jalan tanpa gandeng anak dan suami

Persahabatan dengan Lawan Jenis

Nah, untuk yang satu ini biasanya terjalin dengan rekan kerja.  Ada orang-orang yang nyama bergaul dan bercerita apa saja dengan rekan kerja yang nota bene lawan jenis.  Terasa lebih nyaman dan mendapat perhatian mungkin ya.
Silakan saja.  Meski  begitu tetaplah menjaga jarak.  Tak semua hal bisa kita ceritakan, apalagi jika sudah menyangkut hal-hal pribadi seperti masalah dalam rumah tangga.  Alih-alih mendapat pendengar dan saran yang baik, jangan sampai malah terjerumus pada hal-hal yang tak diinginkan.

Persahabatan dengan Mantan

Yang satu ini lebih sensitif lagi deh.   Namanya pernah ada rasa ya, bisa dibayangkan bagaimana desir yang hadir saat bertemu.  Meski bersembunyi dibalik kalimat, “Oh, Aku udah gak ada perasaan apa-apa kok sama dia!” tetap saja bukan jaminan keamanan untuk hati.  Satu pihak bisa bilang begitu, bagaimana dengan pihak yang satu lagi?

Dulu putus baik-baik.  Makanya sekarang tetap bisa berteman.  Ya, cukup berteman.  Perlakukan sama seperti teman yang lain.  Jika dia melangkah ke level sahabat, bisa jadi obrolannya juga jauh lebih pribadi.  Ingat, jangan sekali-sekali membahas kekurangan pasangan sekarang (suami ataupun istri) dengan mantan kita.   Ini bahaya! Benar-benar tanda stop berwarna merah.

Ngomong-ngomong soal mantan, beberapa mantan saya ada yang menjadi kotak di media sosial.  Jujur saja, saat dia mengajukan pertemanan, butuh waktu lama untuk saya meng-confirm permintaan itu.  Entahlah, saya merasa harus berpikir panjang.  Meski akhirnya saya kemudian menyetujui pertemanan kami, tapi ya begitu, setiap kali saya/dia menulis status, paling banter ya parkir jempol saja.  Sampai hari ini, kami cukup sekedar tau keadaan masing-masing.

Sedikit berbeda ketika mantan suami tiba-tiba ngajuin pertemanan di FB saya, saya menyetujui pertemanannya tanpa banyak pertimbangan.  Sampai sekarang kami jadi teman baik, saling menyapa dan ngobrol dengan santai.  Fyi, saya dan suami juga hadir di pernikahannya sebagai tamu.

Sahabat Terbaik adalah Pasangan Kita



Saya dan suami kebetulan bertemu dari latar belakang yang sama, sebuah organisasi mahasiswa tingkat nasional dimana kami sama-sama menjadi pengurus didalamnya.  Karena itu, beberapa orang dalam lingkaran kami adalah orang yang sama, sahabat bersama dan sekarang menjadi sahabat keluarga.  Pun demikian dengan anak-anak kami.
Untuk yang seperti ini, kami lebih mudah mengerti satu sama lain jika ingin berkegiatan bareng.  

Sekedar ngumpul-ngumpul, mau seharian penuh juga nyaman-nyaman aja karena memang sudah saling kenal dan akrab. Akan berbeda tentu saja jika urusannya ngumpul dengan teman saya (dimana suami dan anak ikut serta) ya kasian juga atuh, saya asyik haha hihi sementara dia ngangon anak atau (terpaksa) nimbrung tapi agak gak nyambung.  Pun demikian sebaliknya jika saya yang menemani dia bertemu dengan kawan lamanya.

Baik suami maupun istri, semua butuh me  time.  Kita butuh ruang untuk relaks, ngobrol seru bareng teman-teman lama, bernostalgia, melepas rindu.  Asal timingnya pas, hayuk aja. Komunikasi itu penting.  Karena semua tentu ada batasnya.  Dalam sebuah hubungan, hak pribadi kita dibatasi oleh hak pribadi orang lain.

Nah, timbang sibuk mencari-cari tempat curhat diluar sana, kenapa gak pasangan kita aja yang djadikan tempat curhat.  Lha wong janji pernikahannya mendampingi dalam segala suasana kok, dalam suka dan duka, sehidup semati hingga kakek nenek dan ajal memisahkan.  Kurang apa coba?
Saya ini tipe yang suka bercerita.  Khan katanya perempuan itu memang harus menghabiskan 20.000 kata sehari, kalau gak tuntas bisa uring-uringan.  Jadinya, apa-apa tuh saya ceritakan ke suami.  Kejadian sepanjang hari selama kami tak bersama.  Sekarang sih udah punya penyaluran lain buat menghabiskan stock kata-kata itu, dengan menulis.  Lumayan to ngabisin 1000 kata lebih, biar gak numpuk di kepala hahaha.  Jadi saya punya sahabat baru setelah menikah, kalau dulu namanya diary yang ditulis-tulis sampe pegel tangannya, sekarang bernama blog, yang medianya ketak ketik posting. Ya kalau butuh lebih banyak kata yang dikeluarkan, membaca aja kenceng-kenceng saat blogwalking ^^

Jadi, kamu memilih bersahabat dengan siapa?




Tulisan ini merupakan bagian dari #KEBloggingCollab dari Grup Butet Manurung dengan Post Trigger tentang Persahabatan Setelah Menikah di Web KEB ditulis oleh Mak Ophi Ziadah pemilik www.ophiziadah.com

Tulisan lain terkait tema ini dari grup yang sama antara lain dari mbak Fiona, mbak Hidayah, mbak Rina Susanti Silakan diintip opini dari kami ya. 
Selamat Membaca 

8 comments:

  1. Mbaaa utk lucu banget pantun eh apa yaa kata2nya itu lhooo

    Sy jadi pingin share ke grup alumni wkwkwkw

    ReplyDelete
  2. Setuju bangeeet, sahabat terbaik adalah pasangan masing-masing yaaa 😊
    Dan aku ikutan gemes baca teman kamu yg masih suka nganter dan jalan bareng. Dinasehatin dong yang dekat dengan keduanya.

    ReplyDelete
  3. Hihihi itu cerita temennya yang keluar masuk grup tiap hari ada2 aja yaa.. Sampe segitunya 😁😁
    Kalo aku juga untungnya suamiku itu sahabatku jaman kuliah dulu, jadi temen dia ya temenku juga..

    ReplyDelete
  4. aku juga ke nulis krn ga bisa mengeluarkan 20rb kata ke suami. haha. nasib.. nasib. anyway aq msh pny temen sejenis kelamin dan beda jenis tapi segeng gitu temennanya. jadi kalo kumpul ya rame2 tetep ada yg cewek

    ReplyDelete
  5. Itu nganter pulangnya berduaan aja Mbak? Kalo iya, wajar aja sih istrinya cemburu. Baiknya diperingatkan aja agar ga sampai kebablasan perasaannya.
    Kalo aku jujur, setelah menikah emang lingkaran pertemananku menyempit karena waktu sehabis kerja atau weekend lebih banyak buat keluarga.
    Sahabat lawan jenisku hanya satu yaitu Anis, kebetulan dulu kenalnya barengan ama Ivon sehingga kami bertiga sama-sama tahu dan nyambung ngobrolnya.

    ReplyDelete
  6. Hihihi... Jadi ini alasan kenapa mbak Arni gak mau ngomongin mantan ya? Hihihi. Saya juga gak bisa kalau harus berteman dengan mantan,jujur deh.Untungnya mantan suami udah gak ada alias wafat jadi aman. Sedangkan mantan saya... ah... kami udah menangkap takdir kami masing-masing

    ReplyDelete
  7. Aah setuju banget bagian akhir. Suami adalah sahabat terbaik. Semoga kita selalu bisa menjadi sahabat yg baik juga untuk suami ya :)

    ReplyDelete