Friday, October 14, 2022

, ,

Ujian Orang Tua Adalah Saat Penerimaan Rapor

 


“Jangan memaksa anak untuk menjadi sepertimu atau menjadi seperti yang kamu mau, karena anak itu bisa menjadi lebih hebat dengan menjadi dirinya sendiri”

Salah satu fase yang bikin deg-degan sejak sah jadi ibu dan anak mulai sekolah adalah saat penerimaan rapor. Setidaknya buat saya. Sudah harus siap ngobrol dengan wali kelas tentang perkembangan Sekolah anak, mulai dari kemampuannya menerima pelajaran, interaksi dengan teman-teman sekolah, hingga segala pernak pernik sikapnya.

Jujur saja, sejak beberapa tahun terakhir saya udah banyak menurunkan ekspektasi pada Prema terkait nilai-nilai pelajaran di Sekolah. Rasanya agak jungkir balik  ngadepin Cah Bagus. Kalau urusan bergaul dengan teman-teman, Prema tak ada masalah. Urusan rasa percaya diri, jangan ditanya deh. Prema ini anaknya banci tampil banget. Makanya paling sering ditunjuk mewakili kelas untuk lomba-lomba. Dari baca puisi sampai bernyanyi. Di kelas 4, sebelum pandemi menghajar dan membatasi gerak kita, Prema juga sempat mewakili sekolah untuk lomba renang antar Sekolah dalam rangka O2SN. Sayangnya setelah itu, 2 tahun Sekolah berpindah ke rumah. Nilai plusnya, karena banyak belajar dari rumah, banyak tugas yang harus disajikan dengan video, baik berupa presentasi, praktikum ataupun gerak tari dan olahraga. Ini juga ikut melatih kepercayaan dirinya.

Baca juga : Membangun Rasa Percaya Diri Anak

Lalu apa dong masalahnya?

Masalahnya adalah Prema bukan tipe anak yang bisa duduk manis belajar, focus, konsentrasi. Prema ini sangat-sangat kinestetik. Paling tidak suka menulis. Apalagi kalau nulisnya banyak, langsung deh manyun dan banyak alasan. Di banyak mata pelajaran, nilai prakteknya tinggi tapi nilai teorinya agak bikin ngelus dada. Masih di atas KKM sih, yang penting gak remedial. Dan anaknya santuy bangeeet. Omaigat!

Eh tapi nilai-nilainya di SD bagus-bagus kok. Bahkan nilai di ijazahnya rata-rata di angka 80 hingga 90-an. Saya juga agak takjub nih. Usut punya usut ternyata soalnya banyak pilihan ganda. Gak capek nulis, Cuy! Hahahaha.

Oke, SD aman. Enam tahun terlewati tanpa drama berarti. Paling banter ya saat jemput pulang Sekolah, Prema sering banget pulang paling akhir dan saya tersisa sendirian di parkiran karena penjemput lainnya sudah pada pulang. Alasannya? Prema belum selesai nulis. Prema belum kelar mengerjakan tugas. Karena saat temannya kerja, Prema sibuk jalan-jalan keliling kelas #emaktepokjidat

Memasuki Masa Putih Biru

Sengaja kami menyekolahkan Prema tidak di tempat yang sama dengan SD-nya. Biar ada suasana baru dan pergaulannya lebih luas. Juga beberapa pertimbangan lainnya. Jarak yang lebih jauh juga menjadi latihan Prema untuk mandiri. Sempat saya ceritakan di artikel sebelumnya.

Baca juga :

Balada Anak SMP ; Masa MPLS

Balada Anak SMP ; Ketika Prema Hilang

Nah, di Sekolah baru tentunya Prema mulai belajar beradaptasi. Dengan kebiasaan baru, teman baru, peraturan baru. Dalam 3 bulan pertama masuk Sekolah, sudah bertumpuk drama tercipta. Kalau semua saya tuliskan bisa jadi novel sepertinya. Yang pasti cukup bikin saya merasa makin jungkir balik. Ajib banget pokoknya. Saya dan suami bahkan pernah dipanggil ke Sekolah, berurusan dengan BK (Bimbingan Konseling) bersama beberapa orang tua lainnya karena kelakuan anak-anak kami. Baru 3 bulan sekolah kakaaak. Ampun dah.

Asli! Ini bikin saya stress.

Lalu tibalah saatnya ulangan harian, lanjut PTS (Penilaian Tengah Semester) kemudian penerimaan rapor sementara. Yang menarik, mulai tahun ajaran ini Sekolah menyelenggarakan “Seminar Parenting” setiap hari penerimaan rapor. Jadi dalam satu tahun akan diadakan 4 kali. Sebelum orang tua bertemu wali kelas untuk mengetahui pencapaian dan perkembangan anak, kami lebih dulu mengikuti seminar yang menghadirkan narasumber tenaga ahli di bidangnya. Saat rapor PTS kemarin, menghadirkan dr.Lahargo Kembaren, SpKJ dengan tema “Membangun Remaja Tangguh” yang quotenya saya kutip sebagi pembuka tulisan ini.  Kapan-kapan saya share materi seminarnya deh.

Saya pikir-pikir, pinter juga Sekolahnya. Jadi orang tua disuruh belajar dulu. Belajar sabar, belajar mengenali tipe-tipe anak, memahami minat bakat anak, dan seterusnya. Biar nanti saat terima rapor gak meradang mencak-mencak ngomelin anak yang nilainya di luar ekspektasi orang tua #emaknyegirajadah

Saat kertas rapor diberikan berlanjut sesi konsultasi, saya agak deg-degan. Nilai Prema lumayan bagus di beberapa mata pelajaran. Ada juga yang nyaris, tipis, di batas KKM. Saya akui, memang itu pelajaran yang kurang dikuasai Prema. Tak kuat dia menghafal dan menulis yang panjang. Maka kalau soal ulangannya diawali dengan kata, “Jelaskan…” bisa dipastikan nilai Prema pasti kurang karena dia hanya akan menulis sesingkat-singkatnya.

Untuk nilai, saya nggak masalah. Yup, seperti yang saya bilang di awal tulisan ini, saya sudah banyak menurunkan ekspektasi untuk nilai akademis Prema. Saya sudah cukup senang dia bersekolah dengan riang, bahagia dan tidak terbebani harus nilai tinggi. Saya memilih fokus pada dua nilai Prema untuk pelajaran favoritnya : Matematika dan Bahasa Inggris. Sejak SD, dua mata pelajaran ini memang paling disukai dan dikuasai Prema. Untuk dua pelajaran ini nilai Prema memuaskan. 

Selanjutnya membahas perkembangan non akademis terutama terkait perkembangan setelah konsultasi BK tempo hari. Saya cukup lega mendengar walasnya menyampaikan perkembangan karakter Prema jauh lebih baik dari sebelumnya. Tampaknya dia mulai nyaman di lingkungan baru ini. Terutama setelah mengikuti ekstrakurikuler “Radio Broadcast” dimana dia belajar membuat script dan siaran di radio Sekolah.

Memilih ekskul yang akan diikuti ini pun melalui malam-malam diskusi yang cukup panjang dengan Prema. Melihat potensi dirinya yang senang berbicara, senang tampil akhirnya kami sampai pada pilihan ini. Bersyukur banget, ternyata Prema malah menikmati ekskul ini.



Belajar Jadi Orang Tua, Belajar Penerimaan Diri

Saat kembali ke mobil usai menerima rapor, saya menangkap sedikit wajah tegang Prema. Sepertinya dia sedang menyiapkan diri untuk mendengar omelan saya. Fyuuuh… saya narik nafas panjang dulu lah. Lalu pelan-pelan mulai membahasnya. Bertiga. Saya, suami dan tentu saja Prema.

Ketika sesi ngobrol berakhir, jujur saja ada lega di hati. Bahkan berujung dengan nonton Miracle In Cell No.7  ke bioskop. Lalu mewek bareng di bioskop nonton si Dodo.

Well, saya lega bukan karena nilai dan progress yang membaik. Saya justru lega karena merasa sudah mulai bisa menerima kondisi ini. Bahwa nilai bukan segalanya. Saya berdamai dengan diri sendiri, menenangkan segala bisikan yang berkecamuk di dalam kepala. Saya tidak boleh mengukur dan memberi target pencapaian pada Prema seperti apa yang saya capai dulu.  

Prema berbeda.

Hmm… mungkin buat sebagian orang sayanya lebay. Terima rapor aja kok segitunya. Tapi, untuk ukuran saya yang dulunya sedikit perfectionis, juara kelas sejak kelas 1 SD, bahkan wisuda dengan predikat cumlaude, IPK nyaris sempurna, menjadi wisudawan terbaik, belajar selalu maksimal, meski tak lupa tetap bersenang-senang lalu diberi anugerah anak semata wayang yang super duper santuy urusan belajar sungguh merupakan ujian. Untuk urusan ini, perbedaan kami bagaikan bumi dan langit. 

Sempat terlintas, mungkin beginilah dulu yang dirasakan oleh ibu setiap menerima rapor adik saya. Isinya yang sangat jauh berbeda dengan rapor saya. Bisa jadi dulu saya sempat jumawa dan sombong ke adik. Akhirnya sekarang diberi kesempatan merasakan yang seperti ini. Ada gak enaknya juga sih jadi juara kelas terus itu. Terima rapor tidak lagi jadi momen yang mendebarkan. Bahkan Bapak Ibu juga biasa aja saat melihat rapor saya karena udah tahu pasti juara 1. Berbeda dengan saat menerima rapor adik yang berlanjut nasehat panjang. Saya berkali-kali mendapat hadiah tatapan sebal dari adik. Huft...maaf ya adikku sayang hehe. 

Saat dipanggil ke Sekolah untuk ngobrol dengan bagian kesiswaan, wali kelas dan guru BK, malam sebelumnya saya sangat gelisah. Bahkan hati saya terasa cemas sekali selama perjalanan ke Sekolah. Gak ada nyaman-nyamannya deh. Selama sekolah dulu mana pernah saya berurusan dengan beginian. Lurus-lurus banget deh pokoknya saya sekolah itu. Prestasi akademik bagus, ekskul baik, anak polos dan rajin. Mana ada cerita ortu dipanggil karena saya bermasalah. Tak ada. Lalu tiba-tiba saat menjadi orang tua, saya malah mengalami yang beginian.

Suami malah lebih santai. Berkali-kali dia menenangkan saya. Sejak malam, di perjalanan bahkan saat di Sekolah ketika kami masih di ruang tunggu. Mengelus punggung saya, menggenggam tangan menguatkan dan menenangkan saya yang tampak gelisah. Padahal setelah akhirnya ngobrol bareng dengan pihak Sekolah, semuanya berakhir baik. Fyuuuh…

Tak apa sesekali menyadari kondisi yang tidak baik-baik saja. Karena semua berproses. Kami belajar jadi orang tua, anak belajar dari pengalaman dan bimbingan ortu + sekolah, guru dan semua stake holder di Sekolah juga belajar memberikan pendidikan dan pendampingan terbaik untuk para siswanya.

Kami (terutama saya) memang harus lebih banyak belajar jadi orang tua. Butuh berjuang lebih keras untuk menerima bahwa Prema punya minat yang berbeda. Bahwa Prema bukan saya dalam bentuk remaja. Bahwa ini masanya Prema, bukan masa ibunya.  Dan selayaknya dia tumbuh berkembang menjadi diri sendiri, bukan menjadi bayangan orang tuanya.

Salam

Arni

 

20 comments:

  1. Kalimat ini : Bahkan Bapak Ibu juga biasa aja saat melihat rapor saya, sama banget sama yang aku alami dulu mba walaupun gak selalu juara satu tapi orang tua jadi berfikir ah dia mah pasti bagus nilainya dan jadi hambar gitu rasanya, hiks...

    ReplyDelete
  2. Orang tua harus belajar menerima pencapaian anak dalam belajar. Jangan membandingkan nilai anak dg nilai temannya. Tapi bandingkan dg anak itu sendiri dari nilai sebelumnya

    ReplyDelete
  3. benar kak jd orangtua itu belajar sepanjang hidup ya. saya anak 3 dengan permasalhn yg berbeda, ya Allah bikin sakit kepala dan tua lebih cepat ditambah suami yg perfeksionis soal urusan akademik anak

    ReplyDelete
  4. Menjadi orang tua adalah proses belajar sepanjang hayat ya mbak
    Sebagai orang tua, akan lebih baik jika kita bisa memahami dan memfasilitasi setiap bakat dan minat anak

    ReplyDelete
  5. Ikut merasakan kebahagiaan atas prestasinya Kak Prema, aku juga banyak belajar bunda soal penerimaan kemampuan anak di sekolah melalui rapotnya, buat saya yang penting anaknya sudah berusaha belajar, hasilnya tunggu aja, kalau kecil ya belajar lagi, tapi aku juga sebisa mungkin ga terlalu push anak buat belajar keras takutnya stress. Sampai sekarang akupun masih belajar mengenai belajar menerima kemampuan anak dan tidak membandingkan dengan anak orang lain, semoga bisa selalu jadi orang tua yang terbaik yang selalu bisa memahami anak. Sukses selalu ya kak Prema sekolahnya, semangat

    ReplyDelete
  6. Ah Prema. Se santuy itu pada urusan nilai. Nggak papa ya, Prem. Sing penting sekolah dengan riang. Meski nggak dapat nilai yang terbaik. Tapi dirimu harus menjadi versi terbaik menurutmu. No matter what.

    ReplyDelete
  7. Kalau menurut saya Prema cocok sekolah di Sekolah Alam Mbak. Apalagi dia kinestetis ya. Jadi ingat buku berjudul Totto Chan: Gadis Kecil di Balik Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi. Ini menggambarkan Prema versi cowoknya.

    ReplyDelete
  8. quotenya berasa mencubitku Kak, duuuh ini sulungku baru kelas 2 SD saja ampun-ampunan deh kalau disuruh belajar, makanya ini sudah siap-siap saja kalau nilainya bakalan turun tidak sesuai ekspektasi emaknya.
    mana lagi sekarang dia makin nano-nano aja tingkahnya bikin mamak jadi stress sendiri lihatnya, fyiiuuuhh.

    anyway bagus ya Kak sekolahnya Prema, ada seminar parentingnya biar ortu juga jadi bisa belajar dan bisa menerima perkembangan anak.

    ReplyDelete
  9. Dari pola asuh yang diterapkan kak Arni kepada Prema, daku belajar banyak hal, salah satunya gak bisa ya dipaksakan mau bagaimananya, tapi dilihat karakter dan bakatnya, lalu disitulah untuk didukung.

    ReplyDelete
  10. Tantangan jadi orang tua itu banyak, ya. Tapi tentunya orang tua selalu menginginkan yang terbaik buat anak.

    ReplyDelete
  11. PAsti deg deg an banget karena keberhasilan anak sekaligus keberhasilan orang tua mendidik dilihat dari angka dan nilai. Padahal proses untuk mendapatkan nilai itu luar bisa perjuangannya

    ReplyDelete
  12. aq termasuk tipe orang tau yang nggak terlalu memusingkan masalah nilai rapot anak mbak, soalnya aq merasa anak punya minat bakat lain di luar pelajaran sekolah jadi apapun itu kita dukung aja selama itu baik

    ReplyDelete
  13. menanti bisa jadi orang tuaaa, mesti banyak belajar dan ngelatih diri yaa jadi orang tua tuh, never ending learning, mesti sabar dan nrimo juga

    ReplyDelete
  14. Kereen bun...sayapun bersikap santaai suami juga karena setiap anak berbeda apalagi laki laki nanti kelihatan ketika SMA kuliah...

    Saya tdk fokus nilai kebetulan sekolahnya juga tdk fokus akademik tapi menggali potensi anak.

    Belajar jd orang tua bijak butuh proses ya bun...

    ReplyDelete
  15. Menjadi orangtua itu belajar sekaligus praktek, Mbak. Akupun menghadapi anak ya tak bikin santuy, enggak banyak ekspektasi karena takut kecewa. Karena anak aku masih SD juga mungkin ya, masih kelas bawah dan soal nilainya aku memilih yaudahlah yang penting kamu enggak remidi mama sudah senang.

    ReplyDelete
  16. Waah iya, penerimaan raport lebih ke "olahraga jantung" kalo buat aku... hahaha. Di otak pertanyaannya, "naik gak nih? naik ga?" Iya, aku termasuk orang tua yang tak terlalu menuntut untuk masalah nilai akademik. Melihat didikan dari pendahulu juga sih, belajar formal penting, tapi pembentukan anak tidak hanya di sini saja. Menghadapi guru BP juga bagus untuk anak karena zaman anakku ya langganan dipanggil ke guru BP, aku sempat bikin ultimatum "Sampe mama dipanggil lagi, kamu gak usah sekolah." Sejak itu, dia belajar untuk beresin masalah dia sendiri. Lumayan tenang pas masa SMA (2thn pertama, tak ada panggilan guru BP), baru dipanggil pas kelas 3, kena SP 3 langsung... huahaha. Tapi dari situ aku tahu, selama 2thn itu anak ternyata belajar mengatasi masalahnya sendiri selama di sekolah, cuma memang ya namanya anak laki ya, tak lepas dari keisengan dan gontok-gontokan, apa mau dikata

    ReplyDelete
  17. Kebayang deg-degannya Mbak Arni pas dipanggil guru BK ya. Pada akhirnya saat mendidik anak kita mendidik diri sendiri. Kita belajar menerima diri dan menerima anak juga sambil bertumbuh bareng, nilai dan values apa yang mau kita junjung di keluarga kita ini ya Mbak

    ReplyDelete
  18. Salut sama orang tua yang selalu support di setiap apa yang dilakukan oleh anak-anak mereka. Mendidik anak itu tidak mudah, apalagi bagi saya yang belum punya anak kok melihat para orang tua dengan anak-anak yang sedang bertumbuh adalah para orang tua yang hebat.

    ReplyDelete
  19. Menarik sekali ceritanya Mbak. Dari sudut pandang anak pintar di sekolah.
    Saya biasa punya nilai biasa banget. punya suami yang biasa dapat ranking 1. Tapi untuk rapor memang buat suami yang penting dia sekolah dan berteman saja. Karena ya gitu deh, pengalaman hidup membuat suami merasa sebaiknya menikmati benar masa anak karena nanti saat dewasa akan ada tanggung jawab besar menanti.
    Kalau saya? Overall biasa saja tapi ngarep anak punya ranking 2 atau 3. wkwkwk. Karena saya baru tahu nikmatnya belajar setelah tua.

    ReplyDelete
  20. Toss kita Mba Arni, saya pas anak laki-laki duduk di bangku SMP waktu penerimaan rapor dipanggil sama guru wali kelas, ya ampun hampir copot jantung sy karena ada nilai yg menyedihkan, justru di mapel yang dia suka pula, hiks.Kurang teliti dalam menjawab. Syukurnya udah berlalu, pada kesempatan berikutnya sudah naik lg.huhu.

    ReplyDelete